Pengaruh Pembelajaran Kontekstual dan Gaya Berfikir terhadap Prestasi Belajar Matematika
A. JUDUL PENELITIAN
Pengaruh Pembelajaran Kontekstual dan Gaya Berfikir terhadap Prestasi Belajar Matematika
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara tidak terlepas dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta seni dan budaya. Sementara itu, kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat ini tidak lepas dari peran
pendidikan, dan pendidikan merupakan bagian hakiki dari kehidupan
masyarakat. Oleh karena itu, masalah pendidikan merupakan tanggung jawab
bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Masalah pendidikan
seringkali menjadi topik perbincangan yang menarik dan hangat, di
kalangan masyarakat luas, dan lebih-lebih lagi pakar pendidikan. Hal ini
merupakan hal yang wajar karena semua orang berkepentingan dan ikut
terlibat dalam proses pendidikan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan semua pihak
dapat memperoleh informasi dengan melimpah, cepat dan mudah melalui
berbagai sumber dan tempat di dunia ini. Dengan demikian, siswa perlu
memiliki kemampuan memperoleh, memilih dan mengolah informasi untuk
bertahan pada keadaan yang selalu berubah dan penuh dengan persaingan.
Kemampuan untuk memperoleh, memilih dan mengolah informasi membutuhkan
pemikiran kritis, sistematis, logis, kreatif dan kemauan bekerja sama
yang efektif. Cara berpikir seperti ini dapat dikembangkan dengan
belajar matematika, karena matematika memiliki struktur dan keterkaitan
yang kuat dan jelas antar konsepnya sehingga memungkinkan siswa terampil
berpikir rasional (Depdiknas, 2005). Selain itu, Indonesia sebagai
negara berkembang sangat membutuhkan tenaga-tenaga kreatif yang mampu
memberi sumbangan bermakna kepada ilmu pengetahuan, teknologi dan
kebudayaan termasuk kesenian.
Matematika berfungsi mengembangkan kemampuan menghitung, mengukur dan
menggunakan rumus matematika yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari
melalui materi pengukuran dan geometri, serta aljabar dan trigonometri.
Matematika juga berfungsi mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan
gagasan dengan bahasa yang dapat berupa model matematika, kalimat
matematika, diagram, grafik atau tabel (Depdiknas, 2005). Matematika
sebagai salah satu ilmu dasar merupakan mata pelajaran yang wajib
diajarkan pada semua jenjang pendidikan, baik sekolah dasar, sekolah
menengah mupun perguruan tinggi. Cornelius mengatakan bahwa ada banyak
alasan tentang perlunya siswa belajar matematika, yaitu: 1) merupakan
sarana berpikir yang jelas dan logis; 2) sarana memecahkan masalah
kehidupan sehari-hari; 3) sarana mengenal pola-pola hubungan dan
generalisasi pengalaman; 4) sarana mengembangkan kreativitas; dan 5)
sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya (dalam
Abdurrahman, 1999).
Begitu pentingnya peranan matematika seperti yang diuraikan di atas,
seharusnya membuat matematika menjadi salah satu mata pelajaran yang
menyenangkan dan digemari oleh siswa. Namun demikian, tidak dapat
dipungkiri lagi bahwa mata pelajaran matematika masih merupakan
pelajaran yang dianggap sulit, membosankan dan sering menimbulkan
masalah dalam belajar. Kondisi ini mengakibatkan mata pelajaran
matematika tidak disenangi, tidak diperdulikan dan bahkan diabaikan. Hal
ini tentunya menimbulkan kesenjangan yang cukup besar antara apa yang
diharapkan dari belajar matematika dengan kenyataan yang terjadi di
lapangan. Di satu sisi matematika mempunyai peranan penting dalam
kehidupan sehari-hari, meningkatkan daya nalar, berpikir logis,
sistematis dan kreatif. Di sisi lain banyak siswa yang tidak menyenangi
mata pelajaran matematika.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam rangka membangun
pemahaman siswa yang nantinya diharapkan bermuara pada peningkatan mutu
pendidikan, khususnya pendidikan matematika. Upaya-upaya yang dimaksud
di antaranya penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku ajar atau bahan
ajar atau buku referensi lainnya, melaksanakan program academic staff deployment
(ASD) yaitu menerjunkan dosen ke sekolah sebagai guru, peningkatan mutu
guru dan tenaga kependidikan lainnya baik melalui pelatihan, seminar
dan kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), serta peningkatan
kualifikasi pendidikan mereka. Namun demikian, semua usaha
tersebut nampaknya belum membuahkan hasil yang optimal. Berbagai
indikator menunjukkan bahwa mutu pendidikan, terlebih lagi pendidikan
matematika yang secara otomatis menyentuh prestasi belajar matematika
siswa mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah sampai kepada perguruan
tinggi masih belum meningkat secara signifikan.
Upaya meningkatkan prestasi belajar matematika rupanya harus dilakukan
dengan kerja keras serta harus menghadapi berbagai hambatan, antara
lain: 1) pelajaran matematika masih menjadi mata pelajaran yang
“menakutkan” bagi siswa, sehingga siswa atau masyarakat umum beranggapan
bahwa mata pelajaran matematika itu adalah mata pelajaran yang hanya
berkutat pada angka-angka saja; 2) sering terdengar nada-nada miring
yang tersebar di masyarakat terkait dengan diberikannya pelajaran
matematika di sekolah, di mana mereka beranggapan bahwa mata pelajaran
matematika tidak ada manfaatnya bagi kehidupan sehari-hari. Selain itu,
seperti termuat pada harian Kompas edisi 28 Maret 2002 dapat diperoleh
gambaran sikap siswa terhadap mata pelajaran ini. Disebutkan bahwa mata
pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang tidak menarik bagi
para siswa SD sampai SMA serta bagi mahasiswa di perguruan tinggi. Sikap
antipati ini disebabkan karena siswa menganggap matematika merupakan
pelajaran yang sulit dan hanya merupakan ilmu murni yang kerjanya
bergulat dengan angka-angka saja.
Salah satu patokan yang sering digunakan untuk menggambarkan kurang
berhasilnya pendidikan matematika di semua jenjang pendidikan adalah
nilai hasil ujian akhir nasional (NUAN), karena NUAN merupakan indikator
yang mudah dilihat oleh masyarakat luas untuk digunakan sebagai acuan
tentang keberhasilan pendidikan, khususnya pendidikan matematika.
Kenyataan menunjukkan bahwa secara nasional rata-rata NUAN matematika
siswa SMP pada lima tahun terakhir ini berkisar antara 4,00 sampai 5,50
(Sumadi dkk, 2004). Sementara itu, khusus di SMP DHARMA LAKSANA,
rata-rata NUAM untuk mata pelajaran matematika masih sulit beranjak dari
urutan terbawah dan bahkan diklasifikasikan C. Hal ini dapat dilihat
pada Tabel 1.1 di bawah ini.
Tabel 1.1 Rata-rata NUAM Siswa SMP DHARMA LAKSANA Dua Tahun Terakhir
Tahun Pelajaran
|
Mata Pelajaran
| |||||
PPKn
|
B. Indo
|
B. Ing
|
Mat.
|
IPA
|
IPS
| |
2003/2004
|
7,55
|
6,05
|
6,04
|
5,70
|
6,49
|
6,19
|
Kalsifikasi
|
A
|
C
|
C
|
C
|
C
|
C
|
2004/2005
|
-
|
7,17
|
6,16
|
5,62
|
-
|
-
|
Klasifikasi
|
-
|
B
|
B
|
C
|
-
|
-
|
(Sumber Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMP DHARMA LAKSANA)
Hasil observasi di SMP DHARMA LAKSANA menunjukkan bahwa dalam
pembelajaran matematika di kelas proses belajar-mengajar masih
didominasi oleh guru, di mana guru sebagai sumber utama pengetahuan. Hal
ini dilakukan oleh guru karena guru mengejar target kurikulum untuk
menghabiskan materi pembelajaran atau bahan ajar dalam kurun waktu
tertentu. Guru juga lebih menekankan pada siswa untuk menghapal
konsep-konsep, terutama rumus-rumus praktis, yang nantinya bisa
digunakan oleh siswa dalam menjawab soal ulangan harian, ulangan umum
atau pun UAN tanpa melihat secara nyata manfaat materi yang diajarkan
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, siswa akan semakin
beranggapan belajar matematika itu tidak ada artinya bagi kehidupan
mereka, abstrak dan sulit dipahami. Akibatnya siswa selalu memandang
matematika sebagai pelajaran yang “menakutkan” bahkan yang lebih ekstrim
lagi siswa mengangap matematika itu sebagai “musuh”. Semua itu pada
akhirnya akan bermuara pada rendahnya prestasi belajar yang diperoleh
siswa dalam pelajaran matematika.
Dalam proses pembelajaran matematika selama ini, guru menerapkan
strategi klasikal dengan metode ceramah menjadi pilihan utama sebagai
metode pembelajaran. Pola pembelajaran atau urutan sajian materi dalam
pembelajaran matematika yang biasa dilakukan selama ini adalah (1)
pembelajaran diawali penjelasan singkat materi oleh guru, siswa
diajarkan teori, defenisi, teorema yang harus dihafal, (2) pemberian
contoh soal dan (3) diakhiri dengan latihan soal. Dalam latihan soal,
siswa selalu diarahkan untuk menjawab “benar” untuk setiap jawaban
benar, kemampuan berpikir konvergen siswa lebih ditekankan tanpa
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan
berpikir divergen (Ichrom, 1988). Pola pembelajaran konvensional seperti
di atas dilakukan secara monoton dari waktu ke waktu. Dalam
pembelajaran ini konsep yang diterima siswa hampir semuanya berasal dari
“apa kata guru”. Konsekwensinya, bila siswa diberikan soal yang berbeda
dengan soal latihan, maka siswa cenderung membuat kesalahan.
Pengetahuan yang dimiliki siswa hanya bersifat prosedural yaitu siswa
cenderung menghafal contoh-contoh yang diberikan oleh guru tanpa terjadi
pembentukan konsepsi yang benar dalam struktur kognitif siswa. Siswa
akan menemui hambatan jika diberikan soal yang tidak bisa diselesaikan
dengan rumus secara langsung, tetapi melalui penerapan beberapa rumus
atau konsep. Boleh dibilang siswa memiliki “senjata canggih” tetapi
tidak mengetahui cara menggunakannya. Keadaan seperti ini membuat siswa
mengalami kesulitan memahami konsep matematika sehingga sangat mudah
terjadi miskonsepsi yang nantinya akan menyebabkan siswa mengalami
kesulitan memahami konsep lebih lanjut.
Dominasi metode ceramah dalam pembelajaran matematika cenderung
berorientasi pada materi yang tercantum dalam kurikulum dan buku teks,
serta jarang mengaitkan materi yang dibahas dengan masalah-masalah nyata
yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat guru menjelaskan
materi, siswa cenderung diam serta mendengarkan apa yang dijelaskan oleh
guru, siswa tidak bisa berargumentasi jika ada hal-hal yang ingin
ditanyakan terkait dengan materi yang ada di buku.
Sebagai salah satu komponen penting dalam meningkatkan kualitas
pendidikan, kegiatan belajar mengajar (KBM) perlu diubah atau direvisi
agar mampu meningkatkan prestasi belajar matematika siswa, apalagi
pemerintah dalam hal ini Depdiknas merencanakan menerapkan kurikulum
berbasis kompetensi (KBK) pada tahun ajaran 2004/2005 secara nasional.
Prambudi (2004) menyebutkan bahwa salah satu alasan diberlakukannya
kurikulum terbaru (kurikulum berbasis kompetensi) adalah karena
rendahnya kualitas pembelajaran, termasuk kualitas pembelajaran
matematika. Dalam rangka menyongsong KBK, maka guru perlu merancang
suatu pembelajaran yang menunjang rencana tersebut. Guru harus mampu
mengupayakan membuat penyajian materi pelajaran matematika yang menarik
dan menyenangkan.
Landasan berpikir
KBK adalah konstruktivis yang esensinya adalah siswa harus menemukan
dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan di benak mereka sendiri dan
memberi makna melalui pengalaman nyata. Pelajaran akan bermakna bila
dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata. Pembelajaran kontekstual
merupakan pembelajaran yang dapat mengaitkan konten kurikulum yang
dipelajari siswa dengan konteks kehidupan nyata. Dengan demikian
pembelajaran yang sesuai dengan nafas KBK adalah pembelajaran
kontekstual.
Pembelajaran kontekstual adalah suatu pembelajaran yang berupaya
mengaitkan materi yang dipelajari dengan pengalaman siswa. Pembelajaran
kontekstual tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi
mendorong siswa mengkontruksi pengetahuan di benak siswa sendiri
(Depdiknas, 2002). Dalam pembelajaran ini siswa didorong membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Proses
pembelajaran kontekstual berlangsung secara alamiah dalam bentuk
kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan trasfer pengetahuan dari
guru ke siswa. Pembelajaran kontekstual menekankan pada tingkat berpikir
yang tinggi, yaitu berpikir divergen (kreatif).
Penerapan pembelajaran kontekstual diduga dapat memberikan sumbangan
alternatif pemecahan masalah pembelajaran matematika, khususnya dalam
meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. Di SMP, penerapan
pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika dimungkinkan
karena topik-topik matematika yang diajarkan di SMP umumnya sebagian
besar masih dapat dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Selain itu,
menurut Piaget walaupun siswa SMP sudah berada pada tahap operasional
formal, namun perubahan dari tahap operasional konkrit ke tahap
operasional formal tidak berlangsung secara mendadak tetapi secara
bertahap, sehingga siswa SMP yaitu pada usia 12-16 tahun proses
berpikirnya belum sepenuhnya bersifat abstrak, sehingga masih
membutuhkan benda-benda nyata dalam pembelajarannya (Depdiknas, 2005).
Gaya berpikir adalah perbedaan-perbedaan individu dalam merespon suatu
permasalahan tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau
informasi yang diberikan. Klasifikasi gaya berpikir siswa dibagi menjadi
dua, yaitu gaya berpikir konvergen dan gaya berpikir divergen. Gaya
berpikir divergen adalah respon individu yang tunggal dan konvensional
tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang
diberikan, sedangkan gaya berpikir divergen adalah respon individu
mencakup berbagai alternatif yang merupakan variasi ide yang tidak bisa
tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang
diberikan.
Pembelajaran matematika dengan pembelajaran kontekstual memberikan
kebebasan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya, perolehan
informasi dan merespon permasalahan yang diberikan. Pembelajaran
kontekstual merupakan pembelajaran yang menekankan pada tingkat berpikir
yang tinggi, yaitu berpikir divergen (kreatif) (Depdiknas, 2005).
Sedangkan pembelajaran matematika yang menggunakan pembelajaran
konvensional cenderung mengarahkan siswa untuk memberi respon yang
tunggal terhadap permasalahan yang diberikan. Siswa diharuskan menjawab
“benar” untuk setiap jawaban benar, kemampuan berpikir konvergen siswa
lebih ditekankan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mencoba menerapkan
pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika dengan
melaksanakan penelitian berjudul “Pengaruh Pendekatan Kontekstual dan Gaya Berfikir terhadap Prestasi Belajar Matematika”.
C. IDENTIFIKASI MASALAH
Berpijak pada latar belakang yang diuraikan di atas, maka terkait
dengan prestasi belajar matematika siswa dapat diidentifikasi beberapa
permasalahan sebagai berikut. 1) bagaimana prestasi belajara matematika
siswa SMP DHARMA LAKSANA?; 2) faktor-faktor apakah yang mempengaruhi
prestasi belajara matematika siswa?; 3) pendekatan pembelajaran yang
bagaimana dapat membantu meningkatkan prestasi belajar matematika?; 4)
apakah pendekatan kontekstual mampu meningkatkan prestasi belajar
matematika siswa?; 5) manakah yang lebih baik dalam pembelajaran
matematika apakah pendekatan kontekstual atau pendekatan konvensional?;
6) bagaimanakah gaya berfikir siswa SMP DHARMA LAKSANA?; 7) bagaimanakah
prestasi belajar matematika siswa yang memiliki g`ya berfikir
konvergen?; 8) bagaimanakah prestasi belajar matematika siswa yang
memiliki gaya berfikir divergen? 9) apakah pendekatan pembelajaran dalam
matematika sebaiknya mempertimbangkan gaya berfikir siswa?
D. PEMBATASAN MASALAH
Idealnya semua masalah yang diidentifikasi harus dikaji agar diperoleh
peningkatan prestasi belajar matematika yang optimal. Mengingat
kompleknya permasalahan seperti yang telah diungkapkan pada identifikasi
masalah di atas serta terbatasnya dana, waktu, alat, dan kemampuan maka
pengkajian pada penelitian ini hanya terbatas pada prestasi belajar
matematika, sebagai akibat dari pendekatan pembelajaran yang digunakan
dalam pembelajaran matematika dan gaya berfikir yang dimiliki siswa.
E. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan batasan masalah
tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai
berikut.
1. Apakah
terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang diajar
dengan pendekatan pembelajaran kontekstual dan siswa yang diajar dengan
pendekatan pembelajaran konvensional?
2. Untuk
siswa yang memiliki gaya berpikir divergen, apakah prestasi belajar
matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual
lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan
pendekatan pembelajaran konvensional?
3. Untuk
siswa yang memiliki gaya berpikir konvergen, apakah prestasi belajar
matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional
lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang diajar
dengan pendekatan pembelajaran kontekstual?
4. Apakah
terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan gaya berpikir
siswa dalam pengaruhnya terhadap prestasi belajar matematika.
F. TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan pada
bagian terdahulu yang akan dicari solusinya, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Untuk
mengetahui perbedaan prestasi belajar matematika siswa yang diajar
dengan pendekatan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan
pembelajaran konvensional.
2. Pada
siswa yang memiliki gaya berpikir divergen, untuk mengetahui perbedaan
prestasi belajar matematika antara siswa yang diajar dengan pendekatan
pembelajaran kontekstual dan siswa yang diajar dengan pendekatan
pembelajaran konvensional.
3. Pada
siswa yang memiliki gaya berpikir konvergen, untuk mengetahui
perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang diajar dengan
pendekatan pembelajaran kontekstual dan siswa yang diajar dengan
pendekatan pembelajaran konvensional.
4. Untuk
mengetahui ada tidaknya interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan
gaya berpikir siswa dalam pengaruhnya terhadap prestasi belajar
matematika.
G. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagi guru
Penelitian ini akan memberikan pengalaman yang bermanfaat dalam
merancang pembelajaran kontekstual dan memfasilitasi pembelajaran. Dari
pengalaman tersebut diharapkan guru dapat mengembangkan model
pembelajaran, LKS dan sumber belajar sejenis pada pokok bahasan yang
lain dan dapat mengimplementasikannya dalam kelas.
2. Bagi siswa
Penelitian ini akan sangat bermanfaat karena secara tidak langsung
mereka terbantu dalam diajar konsep-konsep matematika yang sangat
memberi peluang bagi siswa untuk meningkatkan prestasi belajar mereka
secara optimal. Hal ini disebabkan karena pembelajaran kontekstual
memberikan kesempatan yang luas untuk berinteraksi dengan teman-temanya
dan materi yang dipelajari dirancang terkait dengan kehidupan
sehari-hari sehingga siswa menjadi lebih tertarik belajar matematika.
3. Untuk Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini sangat bermanfaat bagi pengembangan strategi
pembelajaran yang mengaitkan materi ajar dengan kehidupan sehari-hari
(konteks). Hasil penelitian ini akan memberikan informasi yang rinci
tentang keunggulan dan kelemahan pendekatan pembelajaran kontekstual
yang teruji secara eksperimen.
H. KAJIAN TEORI
1. Hakikat Pembelajaran Matematika
1.1 Pembelajaran Matematika
Beberapa definisi atau ungkapan pengertian matematika hanya dikemukakan
terutama berfokus pada tinjauan pembuat definisi itu. Misalnya ada ahli
matematika yang sangat tertarik dengan perilaku bilangan, ia akan
melihat matematika itu dari sudut pandang bilangan. Tokoh lain lebih
mencurahkan pada struktur-struktur, ia melihat matematika dari sudut
pandang struktur-struktur itu. Seperti kata Abraham S Lunchins dan Edith
N Luchins (dalam Suherman, 1993) apakah matematika itu, dapat dijawab
secara berbeda-beda tergantung pada kapan pertanyaan itu dijawab, di
mana dijawab, dan siapa yang menjawabnya. Jadi tidak terdapat suatu
definisi tentang matematika yang tunggal dan disepakati oleh semua tokoh
atau pakar matematika.
Sesungguhnya matematika muncul dari kehidupan nyata sehari-hari.
Sebagai contoh, bangun ruang dan datar pada dasarnya didapat dari
benda-benda kongkrit dengan melakukan proses abstraksi dari benda-benda
nyata. Pada awalnya matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam
dunia nyata, kemudian pengalaman itu diolah dan diproses dalam struktur
kognitif sehingga sampai pada suatu kesimpulan berupa konsep-konsep
matematika. Agar konsep matematika yang terbentuk dapat dipahami orang
lain, maka digunakan notasi dan istilah yang cermat dan disepakati
secara universal yang dikenal dengan bahasa matematika. Oleh karena
matematika muncul dari kehidupan nyata sehari-hari maka dari itu proses
pembelajaran matematika harus dapat menghubungkan antara ide abstrak
matematika dengan situasi dunia nyata yang pernah dialami ataupun yang
pernah dipikirkan siswa.
De Lange (dalam Sugiarti, 2004) menyatakan bahwa mathematics is human being
artinya matematika sebagai pengetahuan merupakan aktivitas manusia.
Hudoyo (2003) mengatakan bahwa belajar matematika adalah belajar tentang
konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat dalam
materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antar
konsep-konsep dan struktur-struktur matematika tersebut. Matematika
tidak menerima generalisasi berdasarkan pengamatan, tetapi menggunakan
penalaran deduktif. Untuk dapat memahami struktur-struktur dan
hubungan-hubungan tersebut diperlukan pemahaman tentang konsep-konsep
yang terdapat dalam matematika itu sendiri. James dan James (dalam
Suherman, 1993) mengatakan bahwa belajar matematika adalah belajar
tentang logika mengenai bentuk, suasana, besaran, dan konsep-konsep
berhubungan lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi menjadi tiga
bidang, yaitu aljabar, analisis dan geometri. Sementara itu, Johson dan
Myklebust (dalam Abdurrahman, 2003) mengatakan bahwa belajar matematika
adalah belajar tentang bahasa simbolik yang fungsi praktisnya untuk
mengekpresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan
fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berfikir.
Ausebel (dalam Winata Putra dan Suherman, 1993) menyatakan bahwa, dalam
belajar matematika siswa tidak hanya menerima dan menghafalkannya
tetapi harus belajar secara bermakna. Belajar bermakna adalah proses
belajar yang menghubungkan informasi atau pengetahuan baru dengan
informasi atau pengetahuan yang sudah dimiliki siswa. Dengan demikian
dalam suatu pembelajaran akan terjadi proses belajar yang bermakna bagi
siswa, apabila konsep yang dipelajari siswa disajikan dalam bentuk
masalah yang kontekstual (Depdiknas, 2005). Masalah kontekstual adalah
masalah yang terkait dengan dunia nyata siswa atau paling tidak
mendekati kondisi dunia nyata. Lebih jauh Ausebel (dalam Winata Putra
dan Suherman, 1993) menyatakan bahwa belajar akan bermakna bagi siswa
jika dalam belajar materinya dihubungkan dengan hal-hal yang telah
diketahui siswa, telah dialami siswa dan kegunaanya di kemudian hari.
Jadi dalam belajar bermakna konsep-konsep atau sifat-sifat matematika
tidak disajikan dalam bentuk jadi tetapi harus ditemukan sendiri oleh
siswa secara induktif, kemudian dibuktikan secara deduktif sehingga
siswa betul-betul mengerti akan konsep tersebut.
Membawa situasi-situasi dunia nyata ke dalam matematika sekolah adalah
perlu meskipun belum cukup, untuk menumbuhkembangkan sikap positif
terhadap matematika, yang diharapkan dapat menjadi inspirasi untuk
memahami dan menginterprestasi realitas dan sebagai aktivitas berpikir
yang menarik. Tujuan matematika yang seperti itu dapat dicapai bila guru
berhasil membawa siswa menggunakan matematika ke dalam situasi yang
pdrnah dialami siswa atau kehidupan sehari-hari.
Salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah yang sejalan
dengan konsep belajar bermakna adalah untuk mempersiapkan siswa agar
dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan
sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, sehubungan
dengan itu siswa memerlukan matematika untuk memenuhi kehidupan praktis
dan memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari-hari, selain itu agar
siswa mampu memahami bidang studi lain, berpikir logis, kritis (berpikir
konvergen), praktis serta bersikap positif dan kreatif (berpikir
divergen). Oleh karena itu, matematika akan lebih menarik bagi siswa
jika dalam pembelajaran matematika guru mengaitkan materi yang
dipelajari siswa dengan kehidupan mereka sehari-hari, sehingga siswa
akan menjadi tahu tujuan mereka belajar dan belajar menjadi lebih
bermakna. Menurut Suherman (2003) penerapan strategi yang dipilih dalam
pembelajaran matematika haruslah mampu mengoptimalisasikan interaksi
seluruh unsur pembelajaran. Demi peningkatan optimalisasi interaksi
dalam pembelajaran matematika, untuk pokok bahasan atau sub pokok
bahasan tertentu mungkin dapat dicapai dengan pembelajaran kontekstual.
Masih banyak lagi definisi-definisi tentang belajar matematika, tetapi
tidak satu pun perumusan yang tepat diterima oleh umum, atau
sekurang-kurangnya dapat diterima dari berbagi sudut pandang. Dalam
penelitian ini yang dimaksud dengan pembelajaran matematika adalah teori
yang dungkapkan oleh Hudoyo (2003), yaitu belajar tentang konsep-konsep
dan struktur-struktur matematika yang terdapat dalam materi yang
dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antar konsep-konsep dan
struktur-struktur matematika tersebut.
1.2 Prestasi Belajar Matematika
Sebagai
seorang guru yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan proses
belajar mengajar, salah satu tugas pokoknya adalah mengevaluasi taraf
keberhasilan rencana dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Untuk
melihat sejauh mana taraf keberhasilan mengajar guru dan belajar siswa
secara tepat dan dapat dipercaya diperlukan informasi yang didukung oleh
data yang objektif dan memadai tentang indikator-indikator perubahan
tingkah laku siswa. Salah satu data yang sering dijadikan acuan untuk
menentukan taraf keberhasilan rencana dan pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar adalah prestasi belajar siswa.
Prestasi belajar merupakan suatu indikator yang dapat menunjukkan
tingkat kemampuan dan pemahaman siswa dalam belajar. Prestasi belajar
dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai oleh individu setelah
mengalami suatu proses belajar dalam jangka waktu tertentu. Menurut
Nasution (2001) prestasi belajar adalah penguasaan seseorang terhadap
pengetahuan atau keterampilan tertentu dalam suatu mata pelajaran, yang
lasimnya diperoleh dari nilai tes atau angka yang diberikan guru.
Berdasarkan pendapat Nasution perstasi belajar dapat dilihat dari nilai
transkrip yaitu nilai raport, karena nilai raport merupakan perumusan
terakhir dari upaya yang dilakukan pendidik (guru) dalam pemberian
penilaian belajar terhadap peserta didik selama satu semester. Nilai
raport mempunyai arti dan manfaat yang sangat penting bagi siswa, guru,
sekolah dan orang tua siswa, karena nilai ini merupakan terjemahan dari
prestasi belajar siswa yang nantinya bisa berguna dalam mengambil
keputusan terhadap siswa bersangkutan atau sekolah.
Lebih jauh menurut Woodworth dan Marquis mengemukakan bahwa prestasi
belajar merupakan kemampuan aktual yang dapat diukur secara langsung
dengan tes. Sedangkan Bloom (1971) mengungkapkan, prestasi belajar
merupakan hasil perubahan tingkah laku yang meliputi ranah kognitif,
ranah afektif, dan ranah psikomotor. Prestasi belajar bisa juga disebut sebagai abilitas atau kecakapan (Azwar, 1998). Abilitas ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1) abilitas aktual (actual ability)
yaitu abilitas yang telah diterjemahkan dalam bentuk performansi nyata.
Abilitas ini diperoleh siswa setelah mengalami proses belajar mengajar;
2) abilitas potensial (pontensial ability) yaitu suatu kemampuan
dasar yang berupa disposisi yang dimiliki oleh individu untuk mencapai
prestasi. Abilitas potensial merupakan atribut yang diasumsikan laten
(bawaan) yang belum tampak pada performasi. Atribut bawaan ini ini
terdapat dalam setiap individu dalam kadar yang berbeda-beda. Hal inilah
yang menyebabkan tidak semua orang memilki potensi dan kesempatan yang
sama untuk mencapai perfomansi yang sama. Kecakapan aktual dan kecakapan
potensial ini dapat dimasukkan ke dalam suatu istilah yang lebih umum
yaitu kemampuan (ability).
Ada
banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Faktor-faktor
tersebut dalam banyak hal saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama
lain. Sudjana (2000), Muhibbin (2004), dan Purwanto (2000) mengungkapkan
bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa
adalah faktor luar (eksternal) dan faktor dalam (internal). Faktor luar
terdiri atas lingkungan, meliputi: lingkungan alami dan lingkungan
sosial, dan instrumental meliputi: kurikulum, program, sarana dan
prasarana, serta guru. Faktor dalam terdiri atas faktor fisiologis,
meliputi: kondisi fisik secara umum dan kondisi pancaindera, dan faktor
psikologis, meliputi: minat, kecerdasan, bakat, motivasi, dan gaya
berpikir.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, yang dimaksud dengan prestasi
belajar matematika dalam penelitian ini adalah tingkat penguasaan
kognitif siswa terhadap materi pelajaran matematika setelah mengalami
proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu, berupa nilai yang
dituangkan dalam bentuk angka yang diperoleh dari hasil menjawab tes
prestasi belajar matematika yang diberikan pada akhir penelitian.
Prestasi yang dimaksud dalam hal ini adalah kecakapan nyata yang
diperoleh siswa setelah belajar, bukan kecakapan potensial, sebab
prestasi belajar ini dapat dilihat secara nyata yang berupa nilai
setelah mengerjakan suatu tes. Tes yang digunakan untuk menentukan
prestasi belajar sering diistilahkan dengan tes prestasi belajar. Sesuai
dengan pendapat Bloom seperti yang diungkapakan di atas, maka idealnya
pengungkapan prestasi belajar siswa meliputi ketiga ranah tersebut yang
berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar siswa. Tes prestasi
belajar secara luas tentu mencakup ketiga ranah tersebut. Tetapi pada
penelitian ini akan dibatasi hanya mengungkap prestasi belajar siswa
pada ranah konitif saja dengan penekanan pada tes bentuk tertulis.
2. Hakikat Pembelajaran Kontekstual
2.1 Hakikat Pembelajaran
Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta
didik (siswa) dengan lingkungnnya, sehingga terjadi perubahan prilaku
(Mulyasa, 2005). Fontana (dalam, Winataputra, 1993) menyebutkan
bahwa pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan (fisik, sosial,
kultur dan fsikologis) yang memberikan suasana tumbuh dan berkembangnya
proses belajar. Sedangkan belajar menurut Fontana adalah proses
perubahan tingkah laku yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman.
Jadi, bila dilihat dari individu yang belajar proses pembelajaran
bersifat eksternal (datang dari luar) yang sengaja dirancang atau
didesain sehingga bersifat rekayasa, sedangkan proses belajar bersifat
internal. Oleh karena pembelajaran bersifat rekayasa yaitu rekayasa
prilaku maka pembelajaran selalu terikat tujuan. Atas dasar itu maka
terjadinya proses belajar adalah kreteria dasar dari pembelajaran
(Winataputra, 1993). Dengan kata lain pembelajaran dinilai berhasil bila
siswa (pebelajar) dapat belajar sesuai dengan tujuan yang dirancang.
Sementara itu, Marhaeni (2006) mengatakan bahwa pembelajaran adalah
kegiatan yang terprogram dalam desain FEE (facilitating, empowering, enabling ),
untuk membuat siswa belajar secara aktif. Pengertian di atas
menunjukkan bahwa dalam pembelajaran terjadi interaksi antara peserta
didik yang belajar dan pendidik yang membantu proses belajar tersebut.
Menurut konsep sosiologi pembelajaran adalah rekayasa sosio-psikologi
untuk memelihara kegiatan belajar sehingga tiap individu yang belajar
akan belajar secara optimal dalam mencapai tingkat kedewasaan (Suherman,
1994). Dalam arti sempit pembelajaran adalah proses pendidikan dalam
lingkup persekolahan, sehingga pembelajaran adalah proses sosialisasi
individu dengan lingkungan sekolah seperti: guru, teman sesama siswa,
sumber belajar serta sarana dan prasarana. Sedangkan pembelajaran
menurut konsep komunikasi adalah proses komunikasi fungsional antara
siswa dengan guru serta siswa dengan siswa, dalam rangka perubahan sikap
dan pola pikir (Suherman, 1994). Dalam pembelajaran guru berperan
sebagai komunikator, siswa sebagai komunikan, dan materi yang
dikomunikasikan berisi pesan berupa ilmu pengetahuan. Dalam komunikasi
banyak arah dalam pembelajaran peran-peran tersebut bisa berubah.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian pembelajaran yang
telah diungkapkan di atas, maka yang dimaksud dengan pembelajaran adalah
upaya penataan lingkungan (fisik, sosial, kultur dan fsikologis) yang
bersifat eksternal (datang dari luar pebelajar) serta sengaja dirancang
atau didesain (terprogram) sehingga memberikan suasana tumbuh dan
berkembangnya proses belajar.
2.2 Landaan Pembelajaran Kontekstual
Akhir-akhir
ini pembelajaran kontekstual merupakan salah satu pembelajaran yang
banyak dibicarakan orang. Ada yang berpendapat bahwa pembelajaran
kontekstual merupakan salah satu pembelajaran yang dapat diandalkan
dalam mengembangkan dan mengimplementasikan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Berikut ini akan dijelaskan tentang landasan filisofi,
landasan psikologis dan definisi pembelajaran kontekstual.
Pembelajaran kontekstual dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang
mulai digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh
Piaget (dalam Sanjaya, 2005). Aliran filsafat konstruktivisme berangkat
dari pemikiran epistimologis Giambatista Vico. Menurut Vico mengetahui
adalah mengetahui bagaimana membuat sesuatu (dalam Suparno, 1997).
Artinya, seseorang dikatakan mengetahui manakala ia dapat menjelaskan
unsur-unsur apa yang membangun sesuatu tersebut. Filsafat
konstruktivisme ini kemudian mempengaruhi tentang konsep belajar, bahwa
belajar bukanlah sekadar menghafal pengetahuan tetapi proses
pengonstruksian pengetahuan berdasarkan pengalaman. Pengetahuan bukan
hasil “transfer” dari satu orang ke orang lain, tetapi pengetahuan
merupakan hasil dari proses pengonstruksian yang dilakukan secara
individu. Pengetahuan yang bermakna merupakan pengetahuan yang diperoleh
dari hasil pengkonstruksian bukan dari transfer atau pemberian dari
orang lain.
Pandangan Piaget tentang bagiamana pengetahuan terbentuk dalam struktur
kognitif anak, sangat mempengaruhi pembelajaran kontekstual. Menurut
pembelajaran kontekstual pengetahuan akan bermakna apabila dibangun
sendiri oleh siswa. Pengetahuan yang diperoleh dari pemberian orang lain
tidak akan bermakna serta akan mudah dilupakan dan tidak fungsional.
Berdasarkan fisafat konstruktivisme yang mendasarinya, bahwa
pengetahuan terbentuk karena peran aktif individu, maka dipandang dari
sudut psikologis, pembelajaran kontekstual berpijak pada aliran
psikologi kognitif. Aliran ini mengatakan bahwa proses belajar terjadi
karena pemahaman individu terhadap lingkungannya. Belajar bukanlah
peristiwa mekanis seperti keterkaitan stimulus dan respon (S-R). Belajar
melibatkan proses mental seperti emosi, minat, motivasi, gaya berpikir,
kemampuan dan pemahaman.
Pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) pertama kali diajukan pada awal abad 20 di USA oleh tokoh pendidikan John Dewey. Kata Contextual berasal dari kata Contex yang berarti “hubungan, konteks, suasana atau keadaan”. Dengan demikian Contextual
diartikan “yang berhubungan dengan suasana”, sehingga CTL dapat
diartikan sebagai suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana
atau konteks tertentu.
Dalam pembelajaran matematika, konteks yang dimaksud adalah materi
pelajaran atau soal matematika yang dikaitkan dengan situasi kehidupan
nyata siswa yang dekat dengan keseharian siswa. Contoh soal yang dekat
dengan keseharian siswa adalah: Ani membeli 10 buah buku tulis di Pasar Marga dengan harga 11.500 rupiah, berapakah harga dua buah buku tulis?.
Contoh di atas akan mampu dikerjakan oleh siswa, serta situasinya mudah
dibayangkan karena dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa. Di satu
sisi ada soal yang mampu dikerjakan oleh siswa tetapi situasinya sulit
dibayangkan. Contoh soal yang situasinya sulit dibayangkan oleh siswa
adalah: Sebuah satelit terbang dari bumi menuju bulan dengan
kecepatan 700 km/jam. Jika jarak bumi dan bulan adalah 21.000 km,
berapakah waktu yang diperlukan oleh satelit itu untuk sampai di bulan?
Pembelajaran kontekstual adalah suatu pembelajaran di mana guru
menghadirkan dunia nyata ke dalam pembelajarannya dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sehari-hari, serta lebih menekankan pada belajar
bermakna (Depdiknas, 2002). Guru menghadirkan dunia nyata ke dalam
pembelajaran dengan cara, seperi: 1) guru berusaha membawa benda-benda
riil yang berhubungan dengan materi yang sedang dipelajari, kemudian
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
benda-benda riil tersebut sehingga siswa diharapkan menemukan sendiri
konsep-konsep matematika yang sedang dipelajarinya, atau sebaliknya 2)
guru bercerita tentang sesuatu yang relevan dengan materi yang
dipelajari, dari cerita tersebut siswa diharapkan menemukan sendiri
konsep yang sedang dipelajari.
Menurut Johnson (dalam Nurhadi dan Senduk, 2003), sistem CTL merupakan
suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna
dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya
dengan kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan lingkungan pribadinya,
sosialnya dan budayanya. Lebih Selanjut Nurhadi dan Senduk menyatakan
bahwa pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa
memperkuat, memperluas dan menerapkan pengetahuan dan ketrampilan
akademisnya dalam berbagai latar sekolah dan di luar sekolah untuk
memecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata. Pembelajaran
matematika dengan pembelajaran kontekstual terjadi ketika siswa
menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan dengan mengacu pada
masalah-masalah riil (nyata) yang berasosiasi dengan peran dan tanggung
jawab mereka sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, siswa dan
selaku pekerja.
Pembelajaran kontekstual mengakui bahwa belajar hanya terjadi jika
siswa memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga
dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka berpikir yang dimilikinya.
Pembelajaran kontekstual menekankan pada tingkat berpikir yang tinggi,
yaitu berpikir divergen dalam pengumpulan data, pemahaman terhadap
isu-isu atau pemecahan masalah. Pemaduan materi pelajaran dengan konteks
kehidupan sehari-hari siswa dalam pembelajaran kontekstual akan
menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang mendalam sehingga siswa kaya
akan pemahaman masalah dan cara untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Pembelajaran kontekstual menekankan pada bagaimana belajar di sekolah
dikaitkan ke dalam situasi nyata, sehingga hasil belajar dapat lebih
diterima dan berguna bagi siswa bilamana mereka meninggalkan sekolah.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, yang dimaksud dengan
pembelajaran kontekstual dalam penelitian ini adalah suatu konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkannya dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep seperti itu, maka
proses pembelajaran akan berlangsung secara bermakna. Proses
pembelajaran akan berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan
bekerja dan mengalami, bukan “transfer“ pengetahuan dari guru ke siswa.
Proses pembelajaran lebih utama daripada hasil pembelajaran. Dalam
konteks ini, siswa harus sadar tentang makna belajar, apa manfaatnya,
dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Siswa sadar bahwa apa
yang mereka pelajari akan berguna dalam kehidupannya.
2.3 Komponen Pembelajaran Kontekstual
Dalam
penerapannya di kelas, pembelajaran kontekstual tetap memperhatikan
tujuh komponen pokok pembelajaran yang efektif, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), penilaian autentik (authentic assessment) dan refleksi (reflection) (Depdiknas, 2002). Berikut ini dijelaskan masing-masing komponen pokok pembelajaran kontekstual, seperti diungkapkan di atas.
a. Konstruktivisme (constructivism)
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pembelajaran
kontekstual. Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun
pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman
(Depdiknas, 2002). Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep
atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus
mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman
nyata. Dalam pandangan ini cara memperoleh pengetahuan lebih diutamakan
dari pada hasil pengetahuan yang diperoleh oleh siswa. Oleh karena itu
tugas guru adalah memfasilitasi siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuannya dan bukan mentransfer pengetahuan dari guru kepada siswa.
Pembelajaran kontekstual pada dasarnya mendorong agar siswa dapat
mengkonstruksi pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalaman.
Sebab pengetahuan hanya akan berfungsi apabila dibangun oleh individu
itu sendiri. Pengetahuan yang hanya diberikan oleh orang lain tidak akan
menjadi pengetahuan yang bermakna. Atas dasar asumsi itulah, maka
penerapan asas konstruktivisme dalam pembelajaran kontekstual mendorong
siswa untuk mampu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri melalui
pengalaman nyata.
b. Menemukan (inquiry)
Asas kedua dalam pembelajaran kontekstual adalah penemuan. Artinya,
proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui
proses berpikir secara sistematis. Menemukan merupakan kegiatan inti
dalam pembelajaran kontekstual (Depdiknas, 2002). Pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh oleh siswa bukan hasil dari mengingat
fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Untuk itu dalam
pembelajaran kontekstual peran guru adalah merancang kegiatan yang dapat
memfasilitasi siswa untuk menemukan konsep, prinsip atau ketrampilan
yang diinginkan.
Belajar dengan penemuan guru tidak secara langsung memberikan
generalisasi, prinsip atau kaidah yang dipelajari siswa, tetapi guru
melibatkan siswa dalam proses induktif untuk mendapatkannya. Guru
menyusun situasi belajar sedemikian rupa sehingga siswa belajar
bagaimana bekerja dengan data untuk membuat kesimpulan.
c. Bertanya (questioning)
Bertanya merupakan strategi dalam pembelajaran kontekstual. Pengetahuan
yang dimiliki oleh seseorang selalu bermula dari bertanya. Bertanya
merupakan kegiatan guru untuk menggali informasi, mengecek pemahaman
siswa, memfokuskan perhatian siswa. Bertanya dapat diterapkan antara
siswa dengan siswa, siswa dengan guru atau guru dengan siswa.
Dalam pembelajaran kontekstual, guru tidak menyampaikan informasi
begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa menemukan sendiri. Oleh
karena itu, peran bertanya sangat penting, sebab melalui
pertanyan-pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk
menemukan konsep-konsep atau kaidah-kaidah yang terdapat dalam materi
yang dipelajari (Sanjaya, 2005).
d. Masyarakat Belajar (learning community)
Konsep
masyarakat belajar menyarankan agar pengetahuan atau hasil pembelajaran
diperoleh dari kerjasama dengan teman sejawat atau kerjasama dengan
teman yang lebih dewasa. Kerja sama itu dapat dilakukan dalam berbagai
bentuk baik dalam kelompok belajar (kooperatif) secara formal maupun
dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah. Hasil belajar diperoleh
dari sharing antar teman, antar kelompok dan antar siswa yang tahu ke
siswa yang belum tahu.
Dalam pembelajaran kontekstual, penerapan asas masyarakat belajar dapat
dilakukan dengan menerapkan pembelajaran kooperatif (Depdiknas, 2002;
Sanjaya, 2005). Siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang
terdiri dari 4-5 orang yang anggotanya bersifat heterogen, baik dari
segi kemampuan, gaya berpikir, jenis kelamin, motivasi, ras maupun bakat
dan minatnya.
e. Pemodelan (modeling)
Asas pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu
sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa (Sanjaya, 2005).
Dalam pembelajaran kontekstual model keterampilan atau pengetahuan
sangat diperlukan. Model yang dimaksud bisa berupa model proses
belajar-mengajar maupun model hasil belajar, seperti misalnya cara
mengoprasikan sesuatu, cara mengerjakan sesuatu dan sebagainya. Perlu
disadari bahwa dalam pembelajaran kontekstual, guru bukanlah
satu-satunya model. Model bisa berasal dari siswa ahli, bisa juga ahli
yang didatangkan dari luar. Pada pembelajaran kontekstual guru harus
pandai-pandai menjadi model (Depdiknas, 2002).
f. Refleksi (reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau
berpikir ke belakang tentang apa yang telah dilakukan di masa lalu dan
apa yang perlu dilakukan berikutnya. Menurut Sanjaya (2005) refleksi
adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang
dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian pembelajaran
yang telah dilalui siswa. Dalam pembelajaran kontekstual guru dituntut
mampu memfasilitasi siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan
yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan baru. Dalam pembelajaran
kontekstual, setiap berakhirnya proses pembelajaran, guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengingat kembali apa yang telah
dipelajari. Siswa diberikan kebebasan menafsirkan pengalamannya sendiri,
sehingga mereka dapat menyimpulkan pengalaman belajarnya.
g. Penilaian Autentik (authentic assessment)
Penilaian autentik menitik beratkan pada penilaian proses dengan tanpa
mengesampingkan penilaian hasil. Hal ini didasarkan bahwa sebenarnya
pembelajaran seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu
mempelajari materi, tetapi bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak
mungkin informasi di akhir satuan pembelajaran. Ini berarti informasi
dikumpulkan oleh siswa selama pembelajaran maupun setelah pembelajaran.
Pengumpulan informasi tersebut tidak saja dari guru, tetapi bisa dari
teman sejawat atau orang lain yang terlibat dalam pembelajaran.
Dalam penelitian ini penilaian yang dilakukan adalah menggunakan tes
esai. Tes esai yang autentik adalah tes esai jawaban terbuka di mana
siswa mendemonstrasikan kemampuannya untuk; 1) menyebutkan pengetahuan
faktual; 2) menilai pengetahuan faktualnya; 3) menyusun ide-idenya; dan
4) mengemukakan idenya secara logis dan koheren (Marhaeni 2006). Lebih
jauh dikatakan bahwa tes esai yang terbuka merupakan asasmen yang baik
dan relevan dengan pembelajaran kontekstual karena memiliki potensi
untuk mengukur hasil belajar pada tingkat yang lebih tinggi atau
kompleks dan mampu mengukur kinerja.
Sebuah kelas dikatakan menerapkan pembelajaran kontekstual jika
menerapkan ke tujuh komponen tersebut di atas dalam pembelajarannya,
yaitu konstruktivis filosofinya, menemukan kegiatan belajarnya, bertanya
sebagai strategi, masyarakat belajar dengan pembelajaran kooperatif,
model yang bisa ditiru, pengaitan antara pengetahuan sebelumnya dengan
dengan pengetahuan yang baru dengan proses refleksi dan penilaian yang
sebenarnya dalam kegiatan pembelajaran. Tetapi tidak mutlak setiap kali
pertemuan ketujuh komponen tersebut harus diterapkan, mengingat
keterbatasan waktu dan tenaga yang dimiliki oleh guru. Secara garis
besar langkah-langkah penerapan pembelajaran kontekstual di kelas adalah
sebagai berikut (Sumadi dkk, 2004; Parwati, 2003).
1. Kembangkan
pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja
sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan
ketrampilan barunya.
2. Laksanakan sebanyak mungkin kegiatan menemukan (inkuri) untuk semua topik.
3. Kembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya.
4. Ciptakan “masyarakat belajar” (belajar dalam kelompok-kelompok)
5. Hadirkan “model” sebagai contoh pembelajaran.
6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
Pembelajaran matematika yang dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah
seperti yang disebutkan di atas, akan membantu siswa belajar secara
bermakna. Konsep-konsep materi yang dipelajari akan lebih tahan lama ada
di benak siswa, karena mereka belajar melalui bekerja dan menemukan
sendiri. Dalam pembelajaran kontekstual guru tidak secara langsung
memberikan generalisasi suatu konsep atau prinsip yang dipelajari siswa,
tetapi guru melibatkan siswa dalam proses mendapatkannya. Guru menyusun
situasi belajar sedemikian rupa sehingga siswa belajar bagaimana
bekerja dengan data untuk membuat kesimpulan. Proses pembelajaran
kontekstual mengikuti sintaks pembelajaran seperti yang disajikan pada
Tabel 1.2 sintaks pembelajaran yang disajikan berikut ini dimodifikasi
dari Depdiknas 2005.
Tabel 2.1 Sintaks Pembelajaran Kontekstual
Aktivitas Guru
|
Aktivitas Siswa
|
1. Orientasi Siswa Pada Masalah
a. Memotivasi
siswa (memfokuskan perhatian siswa) dengan cara tanya jawab berkaitan
dengan materi dalam kehidupan sehari-hari atau cerita yang relevan
b. Menyampaikan tujuan pembelajaran dan logistik yang diperlukan
|
Siswa menjawab pertanyaan guru
Siswa mempersiapkan logistik yang diperlukan
|
2. Mengorganisasikan Siswa untuk Belajar
a. Guru
membagi siswa dalam kelompok yang beranggotakan 4-5 orang yang
bersifat heterogen (jenis kelamin, kemampuan, gaya berpikir)
b. Guru Membagikan Lembar Kerja Siswa
c. Guru membimbing siswa dan memfasilitasi siswa dalam menyelesaikan masalah
d. Guru senantiasa mengajukan pertanyaan untuk menggali apa yang dipikirkan siswa
|
Siswa menuju kelompoknya masing-masing
Siswa bekerja dalam kelompok
Siswa menjawab pertanyaan guru
|
3. Mengembangkan dan Menyajikan Hasil Karya
a. Guru membantu siswa menyiapkan bahan persentasi di depan kelas
b. Guru Meminta kelompok menyajikan hasilnya
|
Siswa mepresentasikan hasil kerja kelompoknya
|
4. Mengevaluasi dan Membuat Kesimpulan
|
Siswa menyimpulkan materi yang dipelajari
|
5. Memberikan Pekerjaan Rumah (PR)
|
Siswa mencatat pekerjaan rumah (PR) yang diberikan
|
2.4 Pembelajaran Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika
Knapp & Schell (dalam Depdiknas, 2005) mengidentifikasi beberapa
masalah dalam pembelajaran, antara lain bahwa peserta didik kesulitan
dalam menerapkan pengetahuannya untuk memecahkan masalah-masalah
kompleks dan dalam seting yang berbeda, seperti masalah pada bidang lain
atau masalah di luar sekolah. Begitu pula dalam pembelajaran
matematika, siswa kurang mampu menghubungkan antar konsep dalam
matematika, menghubungkan konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari
dan menghubungkan konsep matematika dengan ilmu lainnya. Selain itu,
siswa tidak memahami keterampilan-keterampilan dasar yang dimilikinya,
karena mereka melihat bahwa pelajaran matematika di sekolah tidak
relevan dengan kehidupan di luar sekolah. Sehingga banyak orang
memandang matematika merupakan mata pelajaran yang paling sulit, padahal
semua orang harus mempelajari matematika karena merupakan sarana untuk
memecahkan masalah kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran matematika yang diterapkan selama ini di sekolah adalah
pembelajaran konvensional yang bersifat teoritik dan mekanistik serta
jarang mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari siswa.
Tentunya pembelajaran yang demikian membuat siswa akan semakin
beranggapan belajar matematika itu tidak ada artinya bagi kehidupan
mereka, abstrak dan sulit dipahami. Sesungguhnya matematika muncul dari
kehidupan nyata sehari-hari. Sebagai contoh, bangun ruang dan datar pada
dasarnya didapat dari benda-benda kongkrit dengan melakukan proses
abstraksi dari benda-benda nyata. Oleh karena itu, proses pembelajaran
matematika harus dapat menghubungkan antara ide abstrak matematika
dengan situasi dunia nyata yang pernah dialami ataupun yang pernah
dipikirkan siswa. Pembelajaran yang dapat menghubungkan ide abstrak
matematika dengan situasi dunia nyata adalah pemelajaran kontekstual.
Pada rambu-rambu kurikulum mata pelajaran matematika disebutkan bahwa
untuk mengajarkan konsep matematika dapat dimulai dengan masalah sesuai
dengan situasi nyata atau contextual problem (Depdiknas,
2005). Kurikulum ini tampak memberikan kesempatan atau memberikan roh
pada penggunaan dan penerapan pembelajaran kontekstual dalam
pembelajaran matematika.
Pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika memberikan ruang
yang cukup bagi siswa untuk membangun dan mengembangkan pemahaman
konsep matematika secara mendalam, khususnya membangun kompetensi
matematika siswa dalam: 1) memecahkan masalah matematika, 2)
berargumentasi dan berkomunikasi secara matematis, 3) melakukan penemuan
kembali, dan 4) berpikir kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi,
penemuan dan generalisasi melalui pemikiran divergen (Sudiarta, 2005).
Pembelajaran yang mengaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan
sehari-sehari siswa akan lebih berkesan bagi siswa dibandingkan dengan
pembelajaran di mana materi yang diperoleh bergantung pada informasi
dari guru. Dalam pembelajaran kontekstual siswa mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri, menemukan sendiri aturan, siswa bebas berdiskusi
dengan temannya, siswa bebas bertanya kepada guru serta memungkinkan
siswa lebih mudah mengingat urutan materi yang dipelajarinya. Akibatnya
pemahaman siswa tentang suatu konsep matematika akan lebih baik
dibandingkan pemahaman konsep hasil informasi dari guru. Disamping itu,
melalui pembelajaran yang mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari
siswa akan mendidik siswa untuk dapat menghubungkan antar konsep dalam
matematika, menghubungkan konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari
dan menghubungkan konsep matematikia dengan ilmu lainnya.
Bedasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan pembelajaran
kontekstual dalam pembelajaran matematika adalah suatu konsep belajar
yang membantu guru mengaitkan materi-materi atau konsep-konsep
matematika yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan
masyarakat.
3. Hakikat Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang biasa dilakukan
guru dalam proses belajar mengajar di dalam kelas. Pada pembelajaran
konvensional, proses belajar mengajar lebih sering diarahkan pada
“aliran informasi” atau “transfer” pengetahuan dari guru ke siswa.
Konsep yang diterima siswa hampir semuanya berasal dari “apa kata guru”.
Siswa terlatih seperti “burung beo” yang hanya pintar meniru tapi sulit
sekali menciptakan sendiri. Dalam pembelajaran konvensional siswa
terlatih berpikir konvergen (mencari satu jawaban benar) dan kurang
sekali dibina berpikir divergen (mencari berbagai alternatif jawaban
terhadap satu soal). Dominasi soal pilihan ganda dalam ulangan harian,
ulangan umum atau EBTANAS yang selama ini diterapkan di sekolah
memperkuat cara (gaya) berpikir konvergen siswa (http://www.pendidikan-damai.org/files/Panduan). Siswa hanya diarahkan untuk menjawab “benar” untuk setiap jawaban benar.
Guru menganggap belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau
menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi
pelajaran. Proses pembelajaran cenderung hanya mengantarkan siswa untuk
mencapai tujuan untuk mengejar target kurikulum, sehingga proses
pembelajaran di kelas memiliki ciri-ciri 1) guru aktif, tetapi siswa
pasif, 2) pembelajaran berpusat pada guru (teacher oriented), 3)
transfer pengetahuan dari guru pada siswa dan 4) pembelajaran bersifat
mekanistik.
Akibat dari pembelajaran tersebut siswa menjadi terbiasa menerima apa
saja yang diberikan oleh guru tanpa mau berusaha menemukan sendiri
konsep-konsep yang sedang dipelajari. Guru akan merasa bangga ketika
anak didiknya mampu menyebutkan kemabali secara lisan (verbal) sebagaian
besar informasi yang terdapat dalam buku teks atau yang diberikan oleh
guru. Penekanan pembelajaran adalah diperolehnya kemampuan mengingat (memorizing) dan bukan kemampuan memahami (understanding).
Pembelajaran yang dilakukan oleh guru masih berpegang pada teori tingkah laku (behavioristik).
Teori ini didasari asumsi bahwa peserta didik (siswa) adalah manusia
pasif yang tugasnya hanya mendengarkan, mencatat dan menghafal, serta
hanya melakukan respon terhadap stimulus yang datang dari luar (stimulus-response).
Siswa akan belajar apabila dilakukan pembelajaran oleh guru secara
sengaja, teratur dan berkelanjutan. Tanpa upaya pembelajaran yang
disengaja dan berkelanjutan maka siswa tidak mungkin melakukan kegiatan
belajar (Sudjana, 2005). Belajar merupakan perubahan tingkah laku yang
muncul sebagai respon individu terhadap stimulus yang datang dari luar
(lingkungan). Siswa di dalam belajar supaya disongsong dan dipersiapkan
untuk dapat menerima bentukan dari luar. Semua siswa dianggap individu
yang sama, sehingga bila siswa diberikan stimulus maka respon yang
diberikan akan sama.
Dalam pembelajaran konvensional, pola pembelajaran atau urutan sajian
materi khususnya dalam pembelajaran matematika adalah (1) pembelajaran
diawali penjelasan singkat materi oleh guru, siswa diajarkan teori,
defenisi, teorema yang harus dihafal, (2) pemberian contoh soal dan (3)
diakhiri dengan latihan soal. Dalam fase latihan soal, siswa diberi
kesempatan untuk melakukan pelatihan dan pemberian umpan balik terhadap
keberhasilan siswa. Pada fase ini pula, guru jarang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilannya
yang dipelajarinya ke dalam situasi kehidupan nyata. Dalam pembelajaran
konvensional metode ceramah merupakan pilihan utama sebagai metode
pembelajaran.
Dengan pola pembelajaran seperti di atas, guru akan mengontrol secara
penuh materi pelajaran serta metode penyampaiannya. Akibatnya, proses
pembelajaran di kelas menjadi proses mengikuti langkah-langkah,
aturan-aturan serta contoh-contoh yang diberikan oleh guru. Di bidang
penilaian, seorang siswa dinilai telah menguasai materi pelajaran jika
mampu mengingat dan mengaplikasikan langkah-langkah, aturan-aturan serta
contoh-contoh yang telah diberikan oleh gurunya.
Berdasarkan
hasil observasi proses belajar mengajar di SMP DHARMA LAKSANA, peneliti
menyusun sintaks pembelajaran konvensional seperti disajikan pada Tabel
2.2 berikut ini.
Tabel 2.2 Sintaks Pembelajaran Konvensional
Aktivitas Guru
|
Aktivitas Siswa
|
Menyampaikan pokok bahasan atau materi yang akan diberikan
|
Mendengarkan informasi yang disampaikan dan menerima materi baru
|
Mendemontrasikan ketrampilan atau menyajikan materi tahap demi tahap
|
Memperhatikan penjelasan guru
|
Memberikan contoh soal yang relevan dengan materi yang diberikan
|
Mencatat contoh soal
|
Menyuruh siswa menyelesaikan soal-soal yang ada dalam LKS
|
Menyelesaikan soal-soal yang ada dalam LKS
|
Memberikan pekerjaan rumah (PR)
|
Mencatat pekerjaan rumah (PR)
|
Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksud dengan pembelajaran
konvensional dalam penelitian ini adalah suatu konsep belajar yang
digunakan guru dalam membahas suatu pokok bahasan yang telah biasa
digunakan dalam pembelajaran matematika serta lebih diarahkan pada
“aliran informasi” atau “transfer” pengetahuan dari guru ke siswa.
Langkah-langkah pembelajaran diawali dengan penjelasan singkat materi
oleh guru, siswa diajarkan teori, defenisi, teorema yang harus dihafal,
pemberian contoh soal dan diakhiri dengan latihan soal.
4. Perbandingan Pendekatan Kontekstual dengan Pendekatan Konvensinal
Dalam prakteknya di lapangan, pola pembelajaran kontekstual sangatlah
berbeda dengan pembelajaran konvensional yang selama ini diterapkan.
Secara garis besar perbedaan antara pola pembelajaran kontekstual dengan
pembelajaran konvensional yang dimodifikasi dari Depdiknas (2002) dan
Nurhadi dan Senduk (2003) dapat dilihat di bawah ini.
Tabel 1.4 Perbedaan Pembelajaran Kontekstual dengan Pembelajaran Konvensional
Pendekatan Kontekstual
|
Pendekatan Konvensional
|
Menyandarkan pada paradigma siswa belajar
|
Menyandarkan pada paradigma guru mengajar
|
Pembelajaran dikaitkan dengan konteks nyata keseharian siswa (nyata)
|
Pembelajaran teoritis, abstrak dan kurang mengaitkan dengan kehidupan nyata siswa (maya)
|
Ketrampilan dikembangkan atas dasar pemahaman.
|
Ketrampilan dikembangkan atas dasar latihan
|
Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan individu siswa
|
Pemilihan informasi ditentukan oleh guru
|
Selalu mengaitkan informasi dengan pengetahuan awal siswa
|
Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai pada saatnya diperlukan
|
Siswa secara aktif telibat dalam pembelajaran
|
Siswa adalah penerima informasi pasif
|
Siswa
menggunakan kemampuan berfikir kritis, terlibat penuh dalam
mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif dan ikut
bertanggung jawab atas terjadinya pembelajaran yang efektif
|
Siswa secara pasif menerima rumus, kaidah tanpa memberi konstribusi ide dalam pembelajaran
|
Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi dan saling mengoreksi
|
Siswa belajar secara individu
|
Kemajuan belajar diukur dengan berbagai cara dan sumber
|
Kemajuan belajar diukur dengan tes
|
Pembelajaran bisa terjadi di berbagai tempat
|
Pembelajaran lebih cendrung di dalam kelas
|
Menerapkan penilaian autentik melalui penerapan praktis dalam pemecahan masalah
|
Penilaian hasil belajar hanya melalui hafalan akademik berupa ulangan atau ujian
|
Perbedaan
pola pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran konvensional seperti
yang dikemukakan di atas memberikan kesan bahwa pembelajaran kontekstual
tampil dengan sejumlah keunggulan dibandingkan dengan pembelajaran
konvensional yang dilakukan selama ini. Perbedaan tersebut juga
menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kontekstual menekankan kegiatan
pembelajaran pada konsep student center.
Dengan
melihat keunggulan-keunggulan dan karakteristik pembelajaran
kontekstual, maka dalam penerapannya di kelas diharapkan siswa dapat
mempelajari materi pelajaran yang disajikan oleh guru melalui konteks
kehidupan mereka dan mereka dapat menemukan arti di dalam proses
pembelajaran, sehingga pembelajaran menjadi lebih berarti dan
menyenangkan bagi siswa. Di samping itu siswa akan merasakan manfaat
langsung dari materi yang sedang dipelajari. Dengan demikian diharapkan
hasil belajar siswa akan lebih baik dan lebih siap menghadapi
masalah-masalah dalam kehidupannya nanti.
5. Hakikat Gaya Berfikir
Hampir setiap orang mempunyai sisi yang dominan. Belahan otak kanan
menguasai belahan kiri badan, sedangkan belahan otak kiri menguasai
belahan kanan badan. Respon, tugas dan fungsi belahan otak kiri dan
kanan berbeda dalam menghayati berbagai pengalaman belajar, sebagaimana
seseorang mengalami realita secara berbeda-beda dan unik. Belahan otak
kiri terutama berfungsi untuk berpikir rasional, berpikir konvergen
(tunggal), analitis, berurutan, linier, saintifik (seperti untuk belajar
membaca, bahasa, aspek berhitung pada matenatika). Sedangkan belahan
otak kanan berfungsi berpikir holistik, berpikir divergen (jamak),
spasial, metaphorik dan lebih banyak menyerap konsep matematika,
sintesis, mengetahui sesuatu secara intuitif, elaborasi serta dimensi
humanistik mistik (Clark dalam Semiawan, 1997).
Berikut ini disajikan Tabel dikotomi fungsi belahan otak kiri dan otak
kanan. Teori ini, walaupun didukung oleh bukti-bukti empiris, namun
masih memerlukan pengkajian lebih lanjut untuk keabsahannya (Dacey,
1989; Piirto, 1992 dalam Munandar, 2002).
Tabel 2.4 Dikotomi Belahan Otak
Belahan Otak Kiri
|
Belahan Otak Kanan
|
Konvergen
|
Divergen
|
Intelektual
|
Emosinal
|
Horizontal
|
Vertikal
|
Diarahkan
|
Bebas
|
Objektif
|
Subjektif
|
Abstrak
|
Kongkrit
|
Verbal
|
Nonverbal
|
Analitis
|
Sintesis
|
Eksplisit
|
Implisit
|
(Sumber Dacey, 1989; Piirto, 1992 dalam Munandar, 2002)
Belajar menurut logika neurologis adalah: pertama, menekankan
pengembangan fungsi-fungsi belahan otak kanan terutama sejak janin dalam
kandungan sampai usia 5 tahun, diteruskan sampai usia 16 tahun. Kedua,
menekankan pengembangan fungsi-fungsi belahan otak kiri. Ketiga,
kombinasi antara fungsi-fungsi belahan otak kiri dan kanan (http://www.pendidikan-damai.org/files/Panduan). Sementara itu, yang dilakukan guru di sekolah adalah membalik logika belajar neurologi ini. Sejak anak masuk SD yang
ditekankan justru pelajaran bahasa (fungsi verbal), kemampuan membaca,
menulis, dan berhitung atau matematika (fungsi intelektual dan fungsi
logika) yang semuanya itu lebih menekankan pengembangan fungsi-fungsi
belahan otak kiri.
Guilford dengan pidatonya yang terkenal pada tahun 1950 mengajukan
Model Struktur Intelek yang membedakan berpikir konvergen dan berpikir
divergen (Munandar, 2002; Semiawan, 1997). Berpikir konvergen hanya
terbatas pada respon yang tunggal dan konvensional tentang hal-hal yang
terkait dengan pembicaraan, sedangkan berpikir divergen mencakup
berbagai alternatif yang merupakan variasi ide yang tidak biasa tentang
hal-hal yang terkait dengan pembicaraan. Lebih jauh, Guilford mengatakan
berpikir konvergen adalah pemberian jawaban atau penarikan kesimpulan
yang logis dari informasi yang diberikan, dengan penekanan pada
pencapaian jawaban tunggal yang paling tepat, atau satu-satunya jawaban
yang benar. Contoh: 2 + 5 = 7; 5 – 1 = 4; 2 x 4 = 8; 6 : 2 = 3.
Sedangkan berpikir divergen adalah memberikan bermacam-macam kemungkinan
jawaban berdasarkan informasi yang diberikan, dengan penekanan pada
keragaman kuantitas dan kesesuaian. Contoh: benda-benda apa saja yang
berbentuk lingkaran? Model Struktur Intelek dari Guilford sangat
berpengaruh dalam mengidentifikasi anak yang berkemampuan unggul khusus
dalam bidang tertentu. Senada dengan Guilford, Munandar (2002)
mengatakan bahwa berpikir divergen adalah menjajaki macam-macam
alternatif jawaban terhadap suatu persoalan, sedangkan berpikir
konvergen menuju pada satu jawaban yang paling mungkin terhadap suatu
persoalan.
Pada tahun enam puluhan Koestler juga meneliti fungsi otak dan
menemukan teori berpikir bisosiatif atau berpikir kreatif (dalam
Semiawan, 1997). Sama seperti Clark, Koestler berpendapat bahwa belahan
otak kanan lebih bersifat lateral (ke samping) dan divergen (jamak)
sedangkan belahan otak kiri bersifat vertikal (ke atas) dan konvergen
(tunggal). Koestler mengatakan berfungsinya belahan otak kanan ditandai
oleh banyaknya (lebih dari satu) kemungkinan jawaban (fungsi divergen)
dan belahan otak kiri ditandai oleh kemungkinan satu jawaban (fungsi
konvergen).
Menurut Fathoni (http://www.penulislepas.com/more.php?id=2041 0_1_0_M)
proses melahirkan ide dengan cara berpikir divergen berarti membiarkan
pikiran kita untuk bergerak ke mana-mana secara simultan. Kita dituntut
untuk mengeluarkan apa pun yang muncul di otak kita. Munculnya satu ide
akan dapat memicu timbulnya ide yang lain. Kunci utama dalam metode
berpikir divergen adalah menghilangkan penilaian. Karena jika penilaian
masih menghantui kita, maka akan sulit untuk dapat menjalankan proses
berpikir divergen secara efektif. Berpikir divergen adalah membiarkan
otak kita bebas bergerak ke segala arah untuk mencari ide-ide yang
nantinya kita tampung. Hal ini sesuai dengan fungsi pada otak kanan.
Sedangkan berpikir secara konvergen adalah mempersempit ide dengan
menyeleksi ide-ide mana yang terbaik, dan hal ini sesuai dengan fungsi
dari otak kiri. Dengan kata lain berpikir divergen dan konvergen adalah
bagailana cara kita untuk menggunakan otak kiri dan otak kanan secara
seimbang.
Bila kita menghadapi masalah yang rumit maka, kedua otak kita akan
berfungsi secara bergantian. Kita menjelajahi berbagai dimensi, setelah
itu kita analisis secara logis, teratur jawabannya, dan jawaban yang
paling mendekati kebenaran sebagai pemecahan yang bersifat analitis.
Meskipun demikian, tidak berarti masing-masing belahan otak mengelola
bentuk informasi tertentu, namun masing-masing belahan itu berfungsi
lebih efisien sesuai ciri-cirinya. Model Koestler ini bersandar terutama
pada gaya berpikir, yaitu fungsi konvergen dan divergen. Gaya berpikir
adalah perbedaan-perbedaan individu dalam merespon suatu permasalahan
tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang
diberikan.
Berpikir divergen sering diartikan sebagai berpikir kreatif (memberi
banyak gagasan), sedangkan berpikir konvergen sering diartikan sebagai
berpikir kritis (memilih gagasan yang terbaik) (Munandar, 2002). Menurut
Cropley (dalam Munandar, 2002), Harsanto (2005), Wahyudin (http://www.litagama.org/Jurnal/ Edisi5/StrategiPemb.htm)
dan Taylor (dalam Sujana, 2002), bahwa ciri-ciri individu yang berpikir
konvergen adalah a) vertikal, artinya bergerak secara bertahap, b)
konvergen, terfokus menuju pada satu jawaban yang paling benar, c)
sistematis-terstruktur, d) berpikir logis, e) dependen, f) pengetahuan
faktual, g) cenderung kurang bertanggung jawab, h) kurang percaya diri
dalam menyelesaikan tugas-tugas dibebankan kepadanya, dan i) teramalkan (predictable).
Sedangkan ciri-ciri individu yang berpikir divergen adalah a) lateral,
artinya memandang persoalan dari beberapa sisi, b) divergen, menyebar ke
berbagai arah untuk menemukan jawaban, c) holistik-sistemik, bersifat
menyeluruh atau global, (d) intuitif – imajinatif, e) independen
(mandiri), dan f) pengetahuan konseptual, g) bertanggung jawab, h)
percaya diri serta menyukai tantangan, dan i) tidak teramalkan (unpredictable).
Menurut Wakefield (dalam Sujana, 2002) kemampuan berpikir konvergen
atau kritis adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memikirkan
dan menemukan cara pemecahan yang paling tepat. Sementara itu, berpikir
divergen sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan
penyelesaian terhadap suatu masalah merupakan bentuk pemikiran yang
samapai saat ini masih kurang mendapat perhatian dalam dunia pendidikan.
Tes hasil belajar sebagian besar hanya meliputi tugas-tugas yang
mengharuskan siswa mencari satu jawaban yang benar (berpikir konvergen)
(Munandar, 2002). Kemampuan berpikir divergen, yaitu menjajaki berbagai
kemungkinan jawaban atas suatu masalah jarang diukur. Dengan demikian
kemampuan mental intelektual siswa secara utuh diabaikan. Kolb (dalam
Nasution, 2001) mengatakan bahwa siswa yang berpikir konvergen lebih
suka belajar bila soal yang dihadapinya mempunyai jawaban tertentu. Bila
mereka menghadapi tugas atau masalah mereka berusaha menemukan jawaban
yang tepat dan lebih suka menghadapi benda daripada manusia (abstrak).
Sedangkan siswa yang berpikir divergen lebih suka memandang sesuatu dari
berbagai segi. Mereka disebut “divergers” karena subur dalam melahirkan
ide-ide baru.
Pendidikan formal di Indonesia terutama menekankan pada pemikiran
konvergen (Munandar, 2002). Siswa jarang dirangsang untuk melihat suatu
masalah dari berbagai sudut pandang atau memberikan berbagai alternatif
penyelesaian suatu masalah. Siswa tumbuh menjadi kurang toleran atau
kurang terbuka terhadap pendapat yang divergen, yang menyimpang dari
yang konvensional. Siswa yang berpikir konvergen merasa lebih nyaman dan
cenderung terikat pada apa yang telah ada. Sesuatu yang baru tidak
disenangi oleh siswa karena tidak biasa dan tidak dikenal.
Dengan demikian yang dimaksud dengan gaya berpikir konvergen adalah
respon individu yang tunggal dan konvensional tentang hal-hal yang
terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan. Berpikir
konvergen adalah pola pikir seseorang yang lebih didominasi oleh
berfungsinya belahan otak kiri, berfikir vertikal, sistematik dan
terfokus serta cenderung mengelaborasi atau meningkatkan pengetahuan
yang sudah ada. Berfikir konvergen merupakan cara berpikir yang menuju
ke satu arah, untuk memberikan jawaban atau penarikan kesimpulan yang
logis dari informasi yang diberikan dengan penekanan pada pencapaian
jawaban tunggal yang paling tepat. Berpikir konvergen berkaitan dengan
berpikir logis, sistematis, linier dan dapat diramalkan. Sementara itu,
berpikir divergen adalah respon individu mencakup berbagai alternatif
yang merupakan variasi ide yang tidak bisa tentang hal-hal yang terkait
dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan. Bepikir divergen
adalah pola berpikir seseorang yang lebih didominasi oleh berfungsinya
belahan otak kanan, berfikir lateral, holistik-sistemik dan menyebar
serta menyangkut pemikiran sekitar atau yang menyimpang dari pusat
persoalan. Berpikir divergen adalah berpikir kreatif, berpikir untuk
memberikan bermacam kemungkinan jawaban berdasarkan informasi yang
diberikan dengan penekanan pada kuantitas, keragaman, originalitas
jawaban. Gaya berpikir divergen menunjuk pada pola berpikir yang menuju
ke berbagai arah dengan ditandai adanya kelancaran, kelenturan, dan
orisinilitas.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, gaya berpikir divergen dan konvergen memiliki karakteristik bipolar (http://www.litagama.org/Jurnal/Edisi5 /StrategiPemb.htm).
Gaya berpikir memiliki dua kutub yang tidak menunjukkan keunggulan
antara satu kutub dengan kutub lainnya, berbeda halnya dengan kecakapan
(ability) yang bersifat unipolar dengan rentangan nol sampai nilai
maksimum tertentu, di mana siswa yang memiliki kemampuan lebih tinggi
akan lebih baik daripada siswa yang memiliki kemampuan rendah. Dengan
demikian, pembedaan gaya berpikir divergen dan konvergen sebenarnya
adalah upaya memahami perbedaan individu dalam kecenderungannya
memproses informasi dan merespon stimuli atau mendekati suatu tugas,
apakah sebagai cenderung divergen atau cenderung secara konvergen. Siswa
dikategorikan cenderung divergen, apabila dalam menghadap suatu
persoalan (tugas) cenderung melihatnya dari berbagai segi, mencakup
berbagai alternatif yang merupakan variasi ide yang tidak bisa tentang
hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan.
Sebaliknya dikategorikan sebagai cenderung konvergen, apabila dalam
menghadapi suatu persoalan selalu memandangnya dari satu sisi, respon
yang tunggal dan konvensional tentang hal-hal yang terkait dengan
pembicaraan atau informasi yang diberikan. Jadi setiap orang sebenarnya
memiliki kedua cara berpikir itu, hanya tingkat dominasinya yang
berbeda.
I. KAJIAN EMPIRIK
Ada
beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Diantaranya
adalah yang dilakukan oleh Sumadi (2004) dan Gita (2004). Hasil
penelitian Sumadi (2004) terhadap siswa kelas II SMP di Kota Singaraja
diperoleh hasil bahwa hasil belajar matematika siswa yang mengikuti
pembelajaran kontekstual lebih baik daripada hasil belajar matematika
siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional. Hasil serupa ditemukan
oleh Gita (2004) yang juga mengkaji tentang pendekatan kontekstual di
SMP. Hasil penelitiaannya menunjukkan bahwa pendekatan kontekstual dapat
meningkatkan prestasi belajar matematika siswa.
Hasil penelitian Mahendra (2004) mengungkapkan bahwa kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa yang diajar dengan pendekatan
kontekstual lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah matematika
siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional. Senada dengan
Mahendra, Parta (2004) juga mengungkapkan keunggulan pendekatan
kontekstual dalam pembelajaran matematika. Pada hasil penelitiannya
dikatakan bahwa pemahaman konsep matematika siswa yang diajar dengan
pendekatan kontekstual lebih baik daripada siswa yang diajar dengan
pendekatan konvensional. Selain berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan
masalah matematika dan pemahaman konsep matematika, pendekatan
kontekstual juga berpengaruh terhadap penalaran dan komonikasi
matematika serta koneksi matematika (Sastrini, 2004 dan Suarsana 2004).
Sementara itu, penelitian Arifin (2002) tentang gaya berfikir siswa menunjukkan bahwa penerapan model mengajar synectics dalam pembelajaran IPS-Ekonomi, dapat meningkatkan kemampuan berfikir divergen siswa (http://pps.upi.edu/org/abstrakthesis/abstrakips/abstrakips02. html.).
J. KERANGKA BERFIKIR
a. Hubungan antara pendekatan pembelajaran dengan prestasi belajar matematika siswa
Matematika adalah suatu cabang ilmu yang berhubungan atau menelah
bentuk-bentuk atau struktur yang abstrak, dan hubungan diantara
struktur-struktur tersebut. Belajar matematika
adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika
yang terdapat dalam materi yang dipelajari serta mencari
hubungan-hubungan antar konsep-konsep dan struktur-struktur matematika
tersebut. Untuk dapat memahami hubungan antara struktur-struktur yang
abtrak tersebut diperlukan pemahaman konsep-konsep yang terdapat di
dalam matematika itu sendiri.
Belajar matematika tidak hanya sekadar belajar tentang konsep-konsep
tetapi belajar secara bermakana. Bermakna dalam hal ini siswa tahu
tujuan mereka belajar matematika. Siswa belajar bermakna jika materi
dalam pembelajarannya dikaitkan dengan kehidupan nyata yang dekat dengan
keseharian siswa. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan pembelajaran
yang mampu mengaitkan materi yang dipelajari siswa dengan kehidupan
mereka sehari-hari. Pendekatan pembelajaran yang bisa mengaitkan materi
pelajaran dengan kehidupan siswa adalah pendekatan kontekstual.
Salah satu tujuan belajar matematika adalah untuk mempersiapkan siswa
agar dapat menggunakan matematika dan pola fikir matematika dalam
kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan,
sehubungan dengan itu siswa memerlukan matematika untuk memenuhi
kehidupan praktis dan memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari-hari,
selain itu agar siswa mampu memahami bidang studi lain, berfikir logis,
kritis (berfikir konvergen), rasional, praktis serta bersifat positif
dan kreatif (berfikir divergen). Hal ini jelas merupakan tuntutan yang
sangat tinggi yang tidak bisa dicapai hanya dengan menilai hafalan,
latihan pengerjaan soal yang bersifat rutin, serta proses pembelajaran
biasa (konvensional).
Untuk menjawab tuntutan yang demikian tinggi, maka perlu dikembangkan
materi serta proses pembelajaran yang sesuai. Pembelajaran yang
memungkinkan untuk mencapai hal tersebut adalah melalui pembelajaran
kontekstual, karena fokus pembelajaran kontekstual adalah pada pengaitan
materi yang dipelajari siswa dengan masalah-masalah yang dihadapi siswa
dalam kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
matematika, pemahaman konsep matematika, penalaran dan komunikasi
matematika, serta koneksi matematika (Mahendra, 2004; Parta, 2004;
Sastrini, 2004 dan Suarsana, 2004).
Penerapan
strategi yang dipilih dalam pembelajaran matematika haruslah mampu
mengoptimalisasikan interaksi seluruh unsur pembelajaran (Suherman,
2003). Demi peningkatan optimalisasi interaksi dalam pembelajaran
matematika, untuk pokok bahasan atau sub pokok bahasan tertentu mungkin
dapat dicapai dengan pembelajaran kontekstual.
Berdasarkan
uraian di atas, maka diduga siswa yang mengikuti pembelajaran dengan
pendekatan kontekstual prestasi belajar matematikanya lebih baik
daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan
konvensional.
b. Perbedaan Prestasi Belajar Matematika Siswa yang Memiliki Gaya berfikir konvergen Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran
Berfikir konvergen (kritis) adalah respon individu yang tunggal dan
konvensional tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau
informasi yang diberikan. Individu yang berfikir konvergen memiliki
ciri-ciri seperti: ingatan baik, berfikir logis, pengetahuan faktual,
dan kecermatan. Siswa yang berfikir konvergen akan mampu mengerjakan
tugas-tugas yang diberikan dengan menggunakan cara-cara yang telah biasa
diajarkan oleh guru, tetapi mereka tidak akan mampu memecahkan masalah
yang memerlukan cara-cara yang lain (baru). Guilford dalam Munandar
(2002) mengatakan bahwa penggunaan model stimulus-response
dalam teori belajar merupakan sebab lain dari kurangnya perhatian
psikologi dan pendidikan terhadap masalah berfikir divergen. Ini berarti
bahwa konsep stimulus-response yang selama ini diterapkan
dalam dunia pendidikan di Indonesia lebih mementingkan berfikir
konvergen. Hal ini dapat dilihat dari alat ukur yang digunakan. Menurut
Munandar (2002) bahwa tes hasil belajar yang biasa dipakai di
sekolah-sekolah sebagaian besar hanya meliputi tugas-tugas yang
mengharuskan siswa mencari satu jawaban yang benar (berfikir konvergen).
Pendekatan konvensional merupakan pendekatan pembelajaran yang biasa
dilakukan guru dalam proses belajar mengajar di dalam kelas. Pendekatan
ini bersumber dari teori stimulus-response. Pada
pembelajaran konvensional, proses belajar mengajar lebih sering
diarahkan pada “aliran informasi” atau “trannsfer” pengetahuan dari guru
ke siswa. Guru menganggap belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau
menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi
pelajaran. Konsep yang diterima siswa hampir semuanya berasal dari “apa
kata guru”. Guru akan merasa bangga ketika anak didiknya mampu
menyebutkan kemabali secara lisan (verbal) sebagaian besar informasi
yang terdapat dalam buku teks atau yang diberikan oleh guru. Penekanan
pembelajaran adalah diperolehnya kemampuan mengingat (memorizing).
Hasil penelitian Arifin (2002) menunjukkan bahwa pembelajaran
konvensional dapat meningkatkan kemampuan berfikir konvergen siswa.
Siswa yang berfikir konvergen mersa lebih nyaman dan cendrung terikat
pada apa yang telah ada. Sesuatu yang baru tidak disenangi oleh siswa
karena tidak biasa dan tidak dikenal.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa individu yang berfikir konvergen
merespon permasalahan secara tunggal dan konvensional tentang hal-hal
yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan, serta
memiliki ciri-ciri ingatan baik, berfikir logis, pengetahuan faktual,
dan kecermatan. Melihat keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh
individu yang berfikir konvergen, maka diduga bahwa pada kelompok siswa
yang memiliki gaya berfikir konvergen, prestasi belajar matematika siswa
yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional akan lebih
baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual.
c. Perbedaan Prestasi Belajar Matematika Siswa yang Memiliki Gaya berfikir Divergen Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran
Berfikir divergen (kreatif) adalah respon individu mencakup berbagai
alternatif yang merupakan variasi ide yang tidak bisa tentang hal-hal
yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan. Dikatakan
pula bahwa ciri-ciri individu yang berfikir divergen adalah menciptakan
gagasan, mengenal kemungkinan alternatif, melihat kombinasi yang tidak
terduga, kemampuan orisinil, terbuka, ulet, menonjolkan diri dan
sesisitif.
Penelitian menunjukkan bahwa perkembangan optimal dari kemampuan
berfikir divergen (kreatif) berhubungan erat dengan cara mengajar. Jika
siswa belajar atas prakarsa sendiri dapat berkembang karena guru menaruh
kepercayaan terhadap kemampuan anak untuk berfikir dan mengemukakan
gagasan baru, dan ketika anak diberi kesempatan untuk bekerja sesuai
dengan minat dan kebutuhannya, maka kemampuan berfikir divergen dapat
tumbuh subur (Munandar, 2002).
Pembelajaran kontekstual adalah suatu konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa
dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan
masyarakat. Pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual
terjadi ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan dengan
mengacu pada masalah-masalah riil (nyata) yang berasosiasi dengan peran
dan tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat,
siswa dan selaku pekerja. Pendekatan kontekstual mengakui bahwa belajar
hanya terjadi jika siswa memproses informasi atau pengetahuan baru
sedemikian rupa sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka
berfikir yang dimilikinya. Dengan demikian, pembelajaran kontekstual
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mengungkapkan
gagasan-gagasannya dan perolehan informasi dalam belajar sesuai dengan
kebutuhan siswa. Hasil penelitian Gita (2004) menunjukkan bahwa
pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan
prestasi belajar matematika siswa.
Kemampuan berfikir divergen (kreatif) sebagai salah satu aspek
psikologis siswa perlu dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran yang
berorientasi pada aktivitas siswa. Pembelajaran berbasis penemuan (inquiry) memusatkan aktivitas belajar pada siswa sebagai objek dan subjek dalam belajar. sehingga pembelajaran berbasis penemuan (inquiry)
mempunyai kaitan erat dengan berfiki divergen. Sudjana (1987)
mengatakan bahwa metode inkuiri merupakan metode mengajar yang berusaha
meletakkan dasar dan mengembangkan berfikir ilmiah. Metode ini
menempatkan siswa lebih banyak belajar sendiri, dan mengembangkan
kreativitas dalam pemecahan masalah yang diarahkan pada pencapaian
tujuan pembelajaran. Pembelajaran berbasis penemuan adalah
strategi-startegi pembelajaran yang berorientasi pada pendekatan
kontekstual dan merupakan bagian inti dari pendekatan kontekstual. Oleh
karena itu, secara tidak langsung individu yang memiliki gaya berfikir
divergen akan belajar lebih baik dengan pendekatan kontekstual.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa individu yang berfikir divergen
merespon permasalahan dengan berbagai alternatif yang merupakan variasi
ide yang tidak bisa tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau
informasi yang diberikan. Individu yang memiliki gaya berfikir divergen
memiliki ciri-ciri seperti: menciptakan gagasan, mengenal kemungkinan
alternatif, melihat kombinasi yang tidak terduga, kemampuan orisinil,
terbuka, ulet, menonjolkan diri dan sesnsitif. Melihat
keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh individu yang berfikir
divergen, maka diduga bahwa pada kelompok siswa yang memiliki gaya
berfikir divergen, prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual akan lebih baik daripada
prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan
pendekatan konvensional
d. Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dengan Gaya berfikir dalam Pengaruhnya terhadap Prestasi Belajar Matematika
Pembahasan tentang karakteristik masing-masing individu berdasarkan
gaya berfikir dan karakteristik pendekatan pembelajaran dalam kaitannya
dengan prestasi belajar matematika telah samapai pada dua dugaan, yaitu:
(1) untuk siswa yang memiliki gaya berfikir konvergen, prestasi belajar
matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan
konvensional lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan pendekatan kontekstual; dan (2) untuk siswa yang memiliki gaya
berfikir dinvergen, prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih baik daripada siswa
yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional.
Penjelasan di atas mentnjukkan bahwa bila gaya berfikir dipertimbangkan
maka dugaan tentang pengaruh pendekatan pembelajaran terhadap prestasi
belajar matematika akan berlawanan. Pada siswa yang memiliki gaya
berfikir konvergen diduga prestasi belajar matematika siswa yang
mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional lebih baik
daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan
kontekstual. Sebaliknya pada siswa yang memiliki gaya berfikir dinvergen
diduga prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan pendekatan kontekstual lebih baik daripada siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan pendekatan konvensional.
Dengan demikian dapat diduga terdapat interaksi antara pendekatan
pembelajaran dengan gaya befikir dalam pengaruhnya terhadap prestasi
belajar matematika.
K. HIPOTESIS PENELITIAN
Berdasarkan kaitan antara masalah yang dirumuskan dengan teori yang
dikemukakan maka dapat disusun suatu hipotesis sebagai berikut :
1. Terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual dengan prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional.
2. Untuk
siswa yang memiliki gaya berpikir divergen, prestasi belajar matematika
siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik
daripada prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan
pendekatan pembelajaran konvensional.
3. Untuk
siswa yang memiliki gaya berpikir konvergen, prestasi belajar
matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional
lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang diajar
dengan pendekatan pembelajaran kontekstual.
4. Terdapat
interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan gaya berpikir siswa
dalam pengaruhnya terhadap prestasi belajar matematika
Hipotesis statistiknya adalah :
1.
2.
3.
4.
L. METODE PENELITIAN
1. Populasi dan Sampel Penelitian
1.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas II SMP DHARMA
LAKSANA yang dibagi menjadi tujuh kelas yaitu kelas VIIIA, IIB, VIIIC,
VIIID, IIE, VIIIF, VIIIG. Informasi yang diperoleh dari Wakil Kepala
Sekolah Urusan Kesiswaan bahwa ketujuh kelas terdistribusi ke dalam
kelas-kelas yang setara secara akademik. Dikatakan setara, karena dalam
pengelompokan siswa ke dalam kelas-kelas tesebut disebar secara merata
antara siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Hal ini
berarti tidak terdapat kelas unggulan maupun non unggulan.
1.2 Sampel Penelitian
Pemilihan sampel penelitian ini tidak dilakukannya pengacakan individu,
karena tidak bisa mengubah kelas yang telah terbentuk sebelumnya. Kelas
dipilih sebagaimana telah terbentuk tanpa campur tangan peneliti dan
tidak dilakukannya pengacakan individu, kemungkinan pengaruh-pengaruh
dari keadaan subjek mengetahui dirinya dilibatkan dalam eksperimen dapat
dikurangi sehingga penelitian ini benar-benar menggambarkan pengaruh
perlakuan yang diberikan (Sevilla dkk, 1993).
Berdasarkan karakteristik populasi dan tidak bisa dilakukannya
pengacakan individu, maka pengambilan sampel pada penelitian ini
dilakukan dengan teknik random sampling. Mula-mula diambil empat
kelas secara acak sebagai sampel penelitian dari tujuh kelas yang ada.
Setelah diperoleh empat kelas sebagai sampel, dilanjutkan dengan memilih
secara acak dua kelas sebagai kelompok eksperimen dan dua kelas sebagai
kelompok kontrol. Dalam menentukan individu yang termasuk berfikir konvergen dan berfikir divergen digunakan skor tes gaya berfikir yang telah disusun oleh peneliti. Skor yang diperoleh dari tes gaya berfikir kemudian
diranking. Sebanyak 27% kelompok atas dinyatakan sebagai kelompok siswa
yang memiliki gaya berfikir divergen dan 27% kelompok bawah dinyatakan
sebagai kelompok siswa yang memiliki gaya berfikir konvergen.
Pengambilan kelompok atas dan kelompok bawah sebesar 27% dengan
pertimbangan bahawa prsentase ini paling baik digunakan untuk membedakan
dua kelompok yang dikontraskan dibandingkan dengan 30% atau 50%.
Pengambilan masing-masing 27% kelompok atas dan kelompok bawah juga
didasarkan pada ajuran Guilford (1954: 425) yang memilah kelompok
ekstrim sebesar 27%.
Untuk lebih meyakinkan bahwa kedua kelompok, yaitu kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol setara, peneliti akan melakukan uji-t untuk
mengetahui ada tidaknya perbedaan skor rata-rata prestasi belajar
matematika. Adapun rumus uji-t yang digunakan adalah:
Kreteria pengujian: jika thit ttabel pada derajat kebebasan dan taraf signifikan ,
maka kedua kelas dinyatakan setara. Sedangkan distribusi data yang akan
digunakan dalam uji-t ini adalah nilai raport siswa pada semester genap
tingkat sebelumnya. Walaupun nilai raport terdapat unsur
ojektivitasnya, tetapi unsur tersebut tidak diberikan pada individu
tertentu melainkan secara keseluruhan.
2 Rancangan dan Prosedur Penelitian
2.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada kelas VIII semester 2 tahun ajaran
2006/2007 di SMP DHARMA LAKSANA. Pada dasarnya penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh penerapan pembelajaran kontekstual dan gaya
berpikir siswa terhadap prestasi belajar matematika siswa, dengan
memanipulasi variabel bebas yaitu pembelajaran kontekstual dan
gaya berpikir siswa, sedangkan variabel yang lain tidak bisa dikontrol
secara ketat sehingga desain penelitian yang digunakan adalah desain
eksperimen semu (quasy exsperiment).
Desain eksperimen yang digunakan adalah desain grup faktorial 2x2
(Fraenkel dan Wallen, 1993; Candiasa, 2002; Seniati dkk, 2005).
Pemilihan metode ini disesuaikan dengan data yang diharapkan, yaitu
perbedaan prestasi belajar matematika sebagai akibat perlakuan yang
diberikan. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah prestasi belajar
matematika siswa. Sebagai variabel bebas perlakukan adalah pendekatan
pembelajaran, yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu pembelajaran
kontekstual dan pembelajaran konvensional. Sebagai variabel moderator
adalah gaya berpikir, yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu gaya
berpikir konvergen dan gaya berpikir divergen. Secara skematis desain
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.3 berikut ini.
Tabel 3.3. Desain Penelitian
Pembelajaran (A)
Gaya Berpikir (B)
|
Kontekstual
(A1)
|
Konvensional
(A2)
|
Gaya Berpikir Divergen (B1)
|
A1B1
|
A2B1
|
Gaya Berpikir konvergen (B2)
|
A1B2
|
A2B2
|
Total
|
A1B1 + A1B2
|
A2B1 + A2B2
|
Keterangan:
A1 = Kelompok siswa yang diajar dengan pembelajaran kontekstual
A2 = Kelompok siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensioal
B1 = Kelompok siswa yang memiliki gaya berpikir divergen
B2 = Kelompok siswa yang memiliki gaya berpikir konvergen
A1B1 = Kelompok siswa yang diajar dengan pembelajaran kontekstual dan memiliki gaya berpikir divergen
A2B1 = Kelompok siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional dan memiliki gaya berpikir divergen
A1B2 = Kelompok siswa yang diajar dengan pembelajaran kontekstual dan memiliki gaya berpikir konvergen
A2B2 = Kelompok siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional dan memiliki gaya berpikir konvergen
Data presatasi belajar matematika dalam penelitian ini diambil dari skor post test saja yang dilakukan pada akhir penelitian atau dengan kata lain tanpa memperhitungkan skor pre test. Campbell dan Stanley (1966: 25) mengatakan bahwa data penelitian yang hanya memperhitungkan skor post test saja tanpa memperhitungkan skor pre test,
faktor validitas internal penelitian tidak memiliki kelemahan serta
dapat dikontrol, seperti: history, kematangan, tes, instrumen, regresi,
mortalitas (kematian), dan implementasi. Sementara itu, menurut Fraenkel
dan Wallen (1993: 222-230) agar hasil suatu penelitian dapat dinyatakan
sebagai hasil dari perlakukan eksperimen dan hasilnya dapat
digeneralisasi pada kondisi yang sama di luar perlakuan, maka perlu
dilakukan pengontrolan. Adapun cara yang digunakan untuk mengontrol
validitas internal penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Karakteristik Subjek
Banyak
karakteristik subjek yang harus dikendalikan dalam penelitian ini,
seperti: intelegensi, sikap, umur, jenis kelamin, status ekonomi, agama,
motivsi dan lain sebagainya. Karakteristik subjek dikontrol dengan cara
mengambil sampel penelitian secara acak (random), sehingga kondisi awalnya relatif sama.
2. Kehilangan Subjek Penelitian (mortalitas)
Hilangnya anggota sampel penelitian dapat terjadi sewaktu-waktu. Hilangnnya anggota sampel ini disebut dengan mortalitas.
Kehilangan tersebut bisa terjadi karena, siswa pindah sekolah, pindah
kelas, siswa sering tidak hadir atau bahkan sakit selama penelitian
berlangsung. Pengaruh mortalitas dapat dikontrol dengan melakukan absen
dan pengawasan secara ketat selama proses pembelajaran. Cara lain bisa
dilakukan dengan melebihkan sampel penelitian sehingga apabila terjadi
mortalitas kekurangan itu bisa ditutupi.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi
penelitian adalah tempat di mana dilakukannya eksperimen atau tempat
istimewa di mana data dikumpulkan. Ada kalanya kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol letaknya bersebelahan, hal ini dikontrol dengan cara
tidak mengatakan kepada kedua kelompok bahwa mereka dijadikan subjek
penelitian.
4. Instrumentasi
Pengaruh
instrumen penelitian bisa terjadi karena perubahan instrumen, perubahan
penskoran dan perbedaan karakteristik pengumpul data. Untuk pengaruh
perubahan instrumen dan perubahan penskoran dikontrol dengan cara
menyediakan pedoman penskoran yang telah ditetapkan. Sedangkan Pengaruh
perbedaan karakteristik pengumpul data terhadap validitas internal
dikontrol dengan menggunakan alat pengumpulan data yang sama untuk
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Dalam hal ini alat pengumpulan
data yang digunakan adalah tes prestasi belajar matematika yang
diberikan ke pada kedua kelompok pada akhir penelitian.
5. Pengukuran
Perbedaan prilaku yang ditunjukkan oleh tes awal (pre test) dan tes akhir (post test)
dapat diakibatkan oleh kejadian di luar perlakukan. Kasus ini disebut
pengaruh pengukuran yang dapat mempengaruhi validitas internal
(Candiasa, 2002). Untuk menghindari pengaruh perbedaan prilaku dapat
dikontrol dengan hanya membandingkan skor tes akhir pada masing-masing
kelompok.
6. Pengaruh Sejarah (history)
Pengaruh
sejarah dalam hal ini adalah apakah kelompok eksperimen maupun kontrol
yang dijadikan sampel penelitian berasal dari kelompok yang setara,
artinya kedua kelompok memiliki prestasi belajar matematika yang relatif
sama. Pengaruh ini bisa dikontrol dengan memilah kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol secara acak.
7. Kematangan (masturation)
Subjek
penelitian akan mengalami perubahan fisik maupun mental (kematangan)
dari waktu kewaktu yang dapat mempengaruhi prestasi belajar
matematikanya. Untuk itu, pengaruh kematangan ini dapat dikontrol dengan
pelaksanaan perlakukan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama
tetapi masih memenuhi syarat penelitian, dalam hal ini perlakuan yang
diberikan selama 12 kali pertemuan (12 x 2 jam pelajaran), ditambah dua
kali pertemuan, satu kali pertemuan untuk melaksanakan tes gaya berfikir
siswa, yaitu sebelum diberikannya perlakuak dan satu kali pertemuan
untuk pelaksanaan pengerjaan tes prestasi belajar matematika pada akhir
perlakuan.
8. Regresi
Adanya data-data out layer
dalam penelitian akan berpengaruh pada regresi statistik. Pengaruh ini
dapat dikontrol dengan cara pengacakan dalam pengambilan sampel
penelitian sehingga terhindar dari skor-skor ekstrem pada skor prestasi
belajar matematika.
9. Sikap Siswa
Cara
subjek penelitian memandang suatu penelitian dan partisipasi mereka
dalam penelitian dapat menciptakan suatu kendala untuk validitas
internal. Subjek penelitian dapat memiliki sikap yang berbeda-beda
terhadap proses pembelajaran, seperti pura-pura giat belajara atau
serius mengikuti pembelajaran. Untuk mengotrol hal ini adalah dengan
cara peneliti tidak secara langsung terjun kelapangan memberikan
pembelajaran di dalam kelasa, tetapi memberikan guru matematika di
sekolah bersangkutan untuk melaksanakan pembelajaran, sehingga subjek
penelitian tidak mengetahui bahwa dirinya dijadikan subjek penelitian.
10. Pengaruh Implementasi
Merupakan
kejadian yang tidak terduga yang dapat menguntungkan salah satu
kelompok. Misalnya peneliti tenjun langsung ke lapangan menerapkan
perlakuan pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, sehingga ada
kemungkinan peneliti akan menerapan pmbelajaran pada klompok eksperimen
dengan sebaik-baiknya agar terjadi perbedaan prestasi belajar antara
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Pengaruh implementas ini dapat
dikontrol dengan cara peneliti menggunakan dua orang guru matematika
yang setara dari segi jenis kelamin, jenjang pendidikan, golongan
(pangkat), pengalaman mengajar, lama mengajar dan lain-lain. Peneliti
meminta bantuan kepala sekolah dalam mentukan guru yang nantinya
dilibatkan dalam penelitian. Sedangkan untuk menghindari bias yang
terjadi akibat perlakukan guru dikontrol dengan melaksanakan
pembelajaran sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah di susun
penliti, baik untuk kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Setelah
diperoleh dua orang guru yang setara sesuai kreteria di atas, kemudian
untuk menentukan guru mana yang mengajar di kelompok eksperimen maupun
guru mana yang mengajar jelompok kontrol ditentukan dengan cara diundi.
Setelah
ditentukan guru yang akan mengajar di masing-masing kelompok,
guru-guru tersebut akan diberikan pengarahan dan pembekalan tentang
proses pembelajaran pada masing-masing kelompok. Khusus untuk guru yang
mendapat mengajar di kelompok eksperimen yaitu dengan menerapakan
pendekatan kontekstual akan di uji coba selama dua minggu dan dipantau
langsung oleh peneliti. Sedangkan untuk guru yang dapat mengajar di
kelompok kontrol tidak dilakukan uji coba karena guru sudah terbiasa
menerapkan pembelajaran dengan pendekatan konvensional.
2.2 Prosedur Penelitian
Pada penelitian ini, langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut.
1. Menentukan sampel berupa kelas dari populasi yang tersedia dengan cara random.
2. Dari sampel yang telah diambil kemudian diundi untuk menentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol.
3. Menyusun
media pembelajaran (alat peraga, LKS, Silabus, dll) yang nantinya
digunakan selama proses belajar-mengajar pada kelompok eksperimen.
4. Menyusun instrumen penelitian berupa tes prestasi belajar pada ranah kognitif untuk mengukur prestasi belajar mtematika siswa.
5. Mengkonsultasikan instrumen penelitian dengan guru matematika, dosen matematika, dan dosen pembimbing.
6. Mengadakan validasi instrumen penelitian yaitu tes prestasi belajar matematika.
7. Memberikan tes gaya berfikir untuk memilah gaya berfikir konvergen dan gaya berfikir divergen siswa.
8. Melaksanakan
penelitian yaitu memberikan perlakuan kepada kelas eksperimen berupa
pembelajaran kontekstual dengan sintaks pembelajaran sebagai berikut.
Tabel 1.6 Sintaks pembelajaran kontekstual
Phase
|
Aktivitas Guru
|
Aktivitas Siswa
|
Pengantar
|
1. Orientasi Siswa Pada Masalah
- Memotivasi siswa (memfokuskan perhatian siswa) dengan cara tanya jawab berkaitan dengan materi dalam kehidupan sehari-hari
- Menyampaikan tujuan pembelajaran dan logistik yang diperlukan
|
Siswa menjawab pertanyaan guru
Siswa mempersiapkan logistik yang diperlukan
|
Eksplorasi
|
2. Mengorganisasikan Siswa untuk Belajar
- Guru
membagi siswa dalam kelompok yang beranggotakan 4-5 orang yang
bersifat heterogen (jenis kelamin, kemampuan, gaya berfikir)
- Guru Membagikan LKS
- Guru membimbing siswa dan memfasilitasi siswa dalam menyelesaikan masalah
- Guru senantiasa mengajukan pertanyaan untuk menggali apa yang difikirkan siswa
|
Siswa menuju kelompoknya masing-masing
Siswa Bekerja dalam kelompok
Siswa menjawab pertanyaan guru
|
Pengembangan
|
3. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
- Guru membantu siswa menyiapkan bahan persentasi di depan kelas
- Guru meminta siswa kelompok menyajikan hasil kerja kelompoknya
|
Siswa mepresentasikan hasil kerja kelompoknya
|
Peringkasan
|
4. Mengevaluasi dan membuat kesimpulan
|
Siswa menyimpulkan materi yang dipelajari
|
5. Memberikan pekerjaan rumah (PR)
|
Siswa mengerjakan pekerjaan rumah (PR)
|
9. Memberikan perlakuan kepada kelas kontrol berupa pembelajaran konvensional dengan sintaks pembelajaran sebagai berikut.
Tabel 1.7 Sintak pembelajaran konvensional
Phase
|
Aktivitas Guru
|
Aktivitas Siswa
|
Apersepsi
|
Menyampaikan pokok bahasan atau materi yang akan diberikan
|
Mendengarkan informasi yang disampaikan dan menerima materi baru
|
Kegiatan Inti
|
Mendemontrasikan ketrampilan atau menyajikan materi tahap demi tahap
|
Memperhatikan penjelasan guru
|
Memberikan contoh soal yang relevan dengan materi yang diberikan
|
Mencatat contoh soal
| |
Menyelesaikan soal yang ada dalam LKS
|
Menyelesaikan soal-soal yang ada dalam LKS
| |
Penutup
|
Memberikan pekerjaan rumah (PR)
|
Mencatat pekerjaan rumah (PR)
|
10. Memberikan pos-test pada akhir penelitian, baik utuk kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol.
11. Menganalisis data hasil penelitian dan melakukan uji hipotesis.
3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.1 Variabel Penelitian
Penelitian ini melibatkan variabel bebas dan variabel terikat yang dijelaskan sebagai berikut.
a. Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran kontekstual
yang dikenakan pada kelompok eksperimen dan pembelajaran konvensional
yang dikenakan pada kelompok kontrol. Sedangkan variabel bebas
intervensi adalah gaya berfikir siswa yang dibagi menjadi gaya berfikir
konvergen dan gaya berfikir divergen.
b. Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah prestasi belajar matematika siswa.
3.2 Definisi Operasional
Untuk menggambarkan secara operasional variabel penelitian, dibawah ini
diberikan definisi operasional masing-masing variabel.
a. Pendekatan Konvensional
Yang dimaksud dengan pendekatan konvensional dalam penelitian ini
adalah prosedur yang digunkan guru dalam membahas suatu pokok bahasan
yang telah biasa digunkan dalam pembelajaran matematika. Langkah-langkah
pembelajaran diawali dengan penjelasan singkat
materi oleh guru, siswa diajarkan teori, defenisi, teorema yang harus
dihafal, pemberian contoh soal dan diakhiri dengan latihan soal
b. Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual adalah suatu pendekatan pembelajaran di mana
guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam pembelajarannya dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan kehidupan mereka sehari-hari serta lebih menekankan pada belajar
bermakna.
c. Gaya Berfikir
Gaya
berfikir adalah perbedaan-perbedaan individu dalam merespon suatu
permasalahan tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau
informasi yang diberikan. Klasifikasi gaya berfikir yang digunakan dalam
penelitian ini adalah berfikir konvergen dan berfikir divergen.
Pengukuran gaya berfikir siswa dilakukan dengan menggunakan tes berfikir
divergen yang dikembangkan oleh Utami Munandar.
d. Prestasi Belajar Matematika
Prestasi belajar matematika adalah tingkat penguasaan kognitif siswa
terhadap materi pelajaran matematika setelah mengalami proses
pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Prestasi belajar ini
dinyatakan dengan skor yang diperoleh siswa dalam menjawab tes prestasi
belajar matematika pada ranah kognitif yang diberikan pada akhir
penelitian, dan data yang diperoleh berupa data interval.
4. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini data yang diperlukan adalah data tentang prestasi
belajar matematika dan data tentang gaya berfikir siswa. Untuk
mengumpulkan kedua data tersebut diperlukan dua macam tes, yaitu tes
untuk mengukur prestasi belajar matematika dan tes untuk memilah gaya
berfikir siswa, yaitu gaya berfikir konvergen dan divergen.
1. Tes Prestasi Belajar Matematika
Instumen yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang prestasi
belajar matematika siswa adalah tes prestasi belajar pada ranah
kognitif. Menurut Arikunto (1998: 123) “tes adalah serentetan pertanyaan
atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur ketrampilan,
pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh
individu atau kelompok“.
Untuk mengetahui kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh siswa dalam
mengerjakan soal, maka bentuk tes yang digunakan dalam penelitian ini
adalah bentuk tes esai. Selain itu, soal bentuk esai (uraian) merupakan
teknik terbaik untuk mengungkapkan kemampuan mengorganisasikan fikiran
dan menyatakan pengetahuan secara lengkap (Azwar, 1999). Dalam menjawab
tes esai siswa dituntut untuk menjawab secara rinci, teliti, dan
berfikir sistematik. Walaupun demikian tes esai tidak lepas dari
kelemahan-kelemahannya, seperti: 1) materi pelajaran yang dijangkau
terbatas, 2) peskoran relatif subjektif, 3) pemeriksaan tidak bisa
dilakukan oleh sembarang orang dan 4) pemeriksaan cukup lama dan rumit
jika jumla siswa cukup banyak (Azwar, 1999; Suherman, 1994). Untuk
mengurangi kelemahan-kelemahan yang ada dalam tes essay, ditangani
dengan cara, 1) untuk menjaga obyektivitas penilaian, pemberian skor
dilakukan oleh dua orang yaitu peneliti sendiri dan teman sejawat, 2)
pemeriksan dilakukan pernomor soal bukan perindividu dan 3) membuat
pedoman penskoran.
2. Kisi-Kisi Tes Prestasi Belajar Matematika
Suatu tes untuk mengevaluasi prestasi belajar disebut baik jika materi
yang terkandung dalam butir-butir tes tersebut dapat mewakili seluruh
materi yang telah dipelajari siswa. Sebaliknya, suatu tes dikatakan
kurang baik bila tes tersebut hanya memuat sebagian kecil materi yang
diajarkan oleh guru. Untuk menghindari hal tersebut dan untuk
mendapatkan tes yang representatif maka perlu dilakukan analisis
rasional. Artinya dengan melakukan analisis berdasarkan fikiran logik
tentang materi-materi yang akan diteskan, tujuan instruksional, serta
bentuk atau tipe tes yang akan dicapai.
Analisis rasional tersebut dituangkan dalam bentuk “kisi-kisi tes” atau “blue print” yang berisi pokok uji yang termuat dalam tes (Koyan, 2005). Berikut ini disajikan kisi-kisi tes prestasi belajar matematika.
Tabel 1.8 Kisi-kisi tes prestasi belajar matematika
Stadar kompetensi
|
Kompetensi dasar
|
Sub Pokok Bahasan
|
Indikator
|
Nomor Butir
|
Menentukan unsur-unsur dan bagian-bagian lingkaran serta ukurannya
|
Menentukan unsur-unsur dan bagian-bagian lingkaran
|
Unsur-unsur lingkaran
|
Menyebutkan unsur-unsur dan bagian-bagian lingkaran (pusat lingkaran, jari-jari, diameter, tali busur, juring dan tembereng)
|
1
|
Menghitung keliling dan luas lingkaran
|
Keliling dan luas lingkaran
|
Menentukan nilai phi () dan rumus keliling lingkaran
|
3
| |
Menentukan rumus luas lingkaran
|
2
| |||
Menghitung keliling dan luas lingkaran
|
4,6
| |||
Menggunakan rumus keliling dan luas lingkaran dalam pemecahan masalah
|
5,7
| |||
Menggunakan hubungan sudut pusat, panjang busur, luas juring dalam pemecahan masalah
|
Sudut pusat, panjang busur, luas juring
|
Menentukan hubungan sudut pusat dan sudut keliling jika menghadap busur yang sama
|
8
| |
Menentukan panjang busur dan luas juring
|
9
| |||
Menentukan luas tembereng
|
12
| |||
Menggunakan hubungan sudut pusat, panjang busur, luas juring dan tembereng dalam pemecahan masalah
|
11,10
| |||
Jumlah
|
10
|
3. Tes Gaya Berfikir Siswa
Munandar (1995) mengistilahkan berfikir divergen (kreatif) dengan
kreativitas yang secara operasional dirumuskan sebagai suatu proses yang
tercermin dari kelancaran, kelenturan, orisinil dan elaborasi dalam
berfikir. Dalam penelitian ini instrumen gaya berfikir yang digunakan
adalah tes yang telah distandarisasi oleh Utami Munandar. Tes tersebut
terdiri dari enam sub tes, yaitu 1) Permulaan kata; 2) Menyusun kata; 3)
Membentuk kalimat tiga angka; 4) sifat-sifat yang sama; 5) Macam-macam
penggunaan; dan 6) Apa akibatnya.
Permulaan kata,
pada subtes ini subjek harus memikirkan sebanyak mungkin kata yang
mulai dengan susunan huruf tertentu. Tes ini mengukur kelancaran dengan
kata, yaitu kemampuan untuk menemukan kata yang memenuhi persyaratan
setruktural tertentu. Menyusun kata, pada subtes ini subjek harus
menyusun sebanyak mungkin kata dengan menggunakan huruf-huruf dari satu
kata yang diberikan. Seperti tes permulaan kata, tes ini mengukur
kelancaran kata, tetapu tes ini juga menuntut kemampuan reorganisasi
persepsi. Membentuk kalimat tiga kata, pada subtes ini subjek
harus menyusun kalimat yang terdiri dari tiga kata, huruf pertama untuk
setiap kata diberikan sebagai rangsangan, akan tetapi urutan dalam
penggunaan ketiga huruf tersebut boleh berbeda, menurut kehendak subjek.
Tes ini mengukur orisinilitas dalam berfikir. Sifat-sifat yang sama,
pada subtes ini subjek harus menemukan sebanyak mungkin objek yang
semuanya memiliki dua sifat yang ditentukan. Tes ini merupakan ukuran
dari kelancaran dalam memberikan gagasan. Macam-macam penggunaan,
pada subtes ini sebjek harus memikirkan sebanyak mungkin penggunaan
yang tidak lazim (tidak biasa) dari benda sehari-hari. Tes ini merupakan
ukuran dari kelenturan dalam befikir, karena dalam tes ini subjek harus
dapat melepaskan diri dari kebiasaan melihat benda sebagai alat untuk
melakukan hal tertentu saja. Apa akibatnya, pada subtes ini
subjek harus memikirkan segala sesuatu yang mungkin terjadi dari suatu
kejadian. Tes ini merupakan ukuran dari kelancaran memberikan gagasan
digabung dengan elaborasi, diartikan sebagai kemampuan untuk
mengembangkan suatu gagasan dengan mempertimbangkan bermacam-macam
implikasinya.
Waktu yang diberikan kepada siswa untuk menjawab tes gaya berfikir
mempunyai batas waktu, berdasarkan pertimbangan bahwa menentukan waktu
adalah penting untuk pengetesan yang cermat. Adapun ketentuan waktunya
adalah sebagai berikut. Subtes 1, 2, 4 dan 5 masing-masing disediakan
waktu 2 menit, subtes 3 disediakan waktu 3 menit, dan sub tes 6
disediakan waktu 4 menit. Jadi secara keseluruhan waktu yang diberikan
kepada subjek untuk menjawab seluruh tes gaya berfikir adalah 15 menit.
Hasil tes yang diberikan pada siswa akan mencerminkan gaya berfikir yang
dimiliki oleh siswa tersebut. Semakin tinggi hasil tes, maka peserta
tes tersebut digolongkan memiliki gaya berfikir divergen, sebaliknya
semakin rendah nilai tes, maka peserta tes tersebut digolongkan memiliki
gaya berfikir konvergen.
4. Kisi-kisi Tes Gaya Berfikir Siswa
Tabel 1.9 Kisi-kisi tes gaya berfikir siswa
No.
|
Variabel
|
Dimensi
|
Indikator
|
No Item
|
1
|
Gaya Berfikir
Gaya Berfikir
|
Kelancaran
|
Permulaan kata
|
1
|
Menyusun kata
|
2
| |||
Sifat-sifat yang sama
|
4
| |||
Kelenturan
|
Macam-macam Penggunaan
|
3
| ||
Orisinilitas
|
Membentuk kalimat tiga angka
|
5
| ||
Elaborasi
|
Apa Akibatnya
|
6
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar